31 | Speechless

1K 176 15
                                    

Anin melangkah tenang dengan tangan membawa sebuah buku pelajaran. Keadaan sekitar sedikit ramai karena jam pulang. Semua baik-baik saja. Sampai ketika Anin berjalan di halaman depan sekolah, seseorang menabraknya keras. Membuat buku yang dipegang Anin jatuh. Jelas buku itu basah karena air sisa hujan tadi.

Keadaan mendadak sepi, semua mata memandang ke arah Anin. Anin sendiri menatap nanar bukunya.

"Ups, bukunya jatuh, ya. Aduh, gue harus minta maaf enggak nih? Sengaja sih gue," kata Verly, seseorang yang menabrak Anin.

Oh, sekarang Verly sudah berani bertindak di depan umum. Biasanya Verly merundung Anin secara diam-diam dan tidak diketahui banyak orang.

Perlahan Anin menatap Verly, datar dan tajam.

Verly kembali bersuara, "Kenapa, Dek?? Mau marah? Hm??" Gadis itu tersenyum sinis.

Anin melengos, menarik napas lalu mengembuskan perlahan, mencoba sabar. Verly mencondongkan tubuh mendekat pada Anin. Verly bicara pelan, "Ini hukuman kecil buat lo yang berani ngelawan omongan gue. Udah berkali-kali gue bilang, jauhin Davin. Tapi sekarang lo malah makin deket sama Davin. Kalau lo terus begitu, gue akan kasih hukuman besar ke lo. Gue enggak main-main sama omongan gue."

Dua orang itu sempat adu tatapan yang sama-sama tak ada ramahnya. Setelahnya, Verly beranjak pergi. Namun sebelum benar-benar pergi, Verly sempat menginjak buku Anin.

Orang-orang mulai ramai membicarakan itu. Mereka sudah tak kaget dengan perilaku buruk Verly. Tetapi mereka sedikit tak menyangka kalau Verly ada masalah dengan Anin. Namun mereka rupanya tahu apa masalah Anin dan Verly, sudah pasti tidak jauh-jauh dari Davin. Banyak yang tahu kalau Verly benar-benar menyukai Davin, dan yang mereka tahu, Anin pernah ada gosip bersama Davin serta Shafa tentunya. Jadi, mereka simpulkan kalau Anin dan Verly ada masalah yang bersangkutan dengan Davin.

Anin hanya bisa menahan amarah. Mau marah-marah juga tak ada gunanya. Ia berjongkok, menatap bukunya yang sudah basah dan kotor.

"Anin!!" Kara berlari dan berhenti di sebelah Anin. Gadis tinggi tersebut merunduk, lalu memegang bahu Anin.

"Gila, ya, tuh cewek memang kurang akhlak. Bukan kurang lagi malah, tapi memang enggak ada akhlak," gerutu Kara, memandang Verly di depan gerbang sana yang baru saja memasuki mobil.

Tanpa ragu, Anin mengambil bukunya. Dia menoleh mencari tempat sampah. Anin menghampiri tempat sampah, kemudian menaruh bukunya di sana. Setelah itu, Anin mencuci tangan di keran yang ada di dekat tempat sampah. Verly tidak tahu saja, buku itu buku baru, hanya ada catatan pelajaran yang tak sampai selembar. Tenang, Anin bisa menulis lagi. Jadi, Anin tak begitu sedih untuk kepergian buku itu. Anin hanya sedikit tak rela, karena kalau mengingat ucapan Jino yang menyuruhnya untuk hidup irit agar kaya, sayang banget itu buku baru sudah harus terbuang. Benar kata Kara, memang tak ada akhlak itu si Verly. Kalau Verly merasa dia sudah berhasil membuat ketenangan Anin hilang, hm, tidak semudah itu Ferguso.

"Anin, Kara!" panggil Rivan, berjalan mendekat, "Ghea mana?"

Anin dan Kara menoleh pada Rivan yang ternyata tak sendirian, melainkan bersama Davin dan Ijal.

"Ghea ekskul, Kak." Kara menjawab pertanyaan Rivan.

"Enggak pulang dulu?" Rivan bertanya lagi.

Kara hanya menggeleng bersama Anin.

"Eh, Dek Kara...." Ijal tersenyum manis menyapa Kara. "Gimana, Dek, ajakan gue kemarin? Nonton, gimana?" lanjut Ijal, menaikturunkan alis.

Davin dan Rivan sudah melirik malas Ijal.

"Aku mau aja sih, Kak. Tapi kalau nanti malem aku enggak bisa, banyak tugas," balas Kara santai.

"Oke, kita pergi lain waktu," kata Ijal tak kalah santai. "Gue duluan, ya, Guys." Ijal menepuk bahu Davin dan Rivan, tersenyum pada Anin dan Kara, lalu melangkah pergi.

Hey, Sha! | ✔Where stories live. Discover now