51 | Sadboi

1.3K 210 23
                                    

Dari sekolah kemudian ke halte dan naik bus sampai akhirnya mereka tiba di depan perumahan Anin, dua remaja itu sama sekali tak buka suara untuk berbicara atau sekadar basa basi. Davin hanya mampu melirik dan Anin yang terus menghindari tatapan Davin sembari terus memasang raut datar.

Niat utama Davin untuk pulang bareng dengan Anin sudah terlaksana, tapi bukan begini maksudnya, sama-sama diam seolah dua orang yang tak saling mengenal.

"Ehem!" Davin berdeham sambil melirik Anin, namun Anin tak menghiraukannya. Davin melepas tas dari gendongannya, lalu menjingjingnya dengan malas.

Davin harus bagaimana? Kok mendadak dia jadi nervous. Padahal cuma Anin yang ia hadapi, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, ia gugup.

Minta maaf, Davin! Seolah ada yang terus berbisik memerintah Davin, hati kecilnya sedang berbicara.

"MINGGIR, KAAAAK!!!"

Seorang bocah bernama Agung yang dulu pernah membuat jaket Davin nyangkut ke pohon mangga tetangga, melintas kebut dengan sepedanya. Davin terlonjak dan refleks minggir sampai mendorong pelan Anin.

"Apa!?" Satu kata berhasil keluar dari mulut Anin, kata pertama untuk Davin dengan nada galak dan tatapan tajam.

Davin mengerjap polos menatap gadis itu. Dia diam sebentar untuk mencerna apa yang terjadi. Hingga kemudian Davin membalas ucapan Anin tak kalah galak, "Apa!?"

Anin termundur sambil mendelik. Apa-apaan pemuda ini?

Keduanya sama-sama membuang muka. Davin cemberut, kenapa sih mulutnya gengsi banget mau bilang kangen. Anin pun begitu, rasanya ingin menghajar Davin sangking rindunya, tetapi yang mampu ia lakukan hanya diam.

"Sha." "Davin."

Berbarengan. Anin dan Davin saling tatap dengan kaget karena tak sengaja memanggil secara bersamaan. Anin mengangkat alis, seakan bertanya mengapa Davin memanggilnya. Dan Davin menggerakkan dagu, menyuruh Anin bicara lebih dulu.

"Apaan? Cepet ngomong!" kata Anin akhirnya tak tahan juga.

"Lo dulu aja, ladies first!" balas Davin tetapi dengan nada nyolot.

Anin menggeleng. "Lo dulu!" ujarnya galak.

"Lo!" Dan Davin pun tidak mau menurut. "Lo dulu aja kenapa sih!?"

Astaga dua orang ini, sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Dan tanpa disengaja lagi, Davin dan Anin mengembuskan napas keras bersamaan. Mereka melanjutkan langkah dalam diam, sepertinya keduanya tengah bergelut dengan isi pikiran.

"Motor lo ke mana?" tanya Anin, membuang jauh-jauh egonya. Karena Anin mulai sadar, mempertahankan ego dengan terlalu tinggi tidak akan menyelesaikan masalah.

Davin menoleh menatap gadis itu, tak menyangka Anin akan memulai obrolan lebih dulu, dengan nada yang terdengar cukup bersahabat.

"Dibawa Bian," balas Davin tenang. Tadi dia berangkat sekolah mengendarai motor berboncengan dengan Bian, lalu setelah kenyang ocehan dan umpatan dari Ando yang terus mendorongnya untuk mendatangi Anin, Davin menyerahkan motornya pada Bian dan memutuskan pulang bersama Anin.

"Sha," panggil Davin, "gue minta maaf, ya. Gue emang bego. Gue malah nambahin beban pikiran lo. Maaf." Pemuda itu menunduk menatap sepatunya.

"Gue sebel sama lo," kata Anin mengaku. Dia menoleh pada Davin, Davin mengangkat kepala untuk memandang wajah Anin. Lalu tiba-tiba Anin mengeplak kepala Davin, membuat Davin meringis kecil.

Namun Davin tidak marah, ia tertawa kecil. "Maaf, ya," katanya lagi sembari menggenggam lembut tangan Anin yang tadi memukulnya.

Anin diam tak membalas. Langkah keduanya memelan, tangan Davin masih menggenggam tangan Anin, sesekali diayunkan pelan. Tidak apa, meski tidak banyak kata yang diungkapkan, Davin sudah merasa lebih tenang.

Hey, Sha! | ✔Where stories live. Discover now