36 | Soal Anin

1.2K 190 12
                                    

Wajahnya menampakkan raut terkejut setelah melihat seorang pemuda duduk bersama sang mami di ruang tamu. Marisa yang tengah tertawa dengan si pemuda itu, menoleh menatap Shafa.

"Shafa, sini, Sayang," panggil Marisa, menampilkan senyum ceria.

Shafa berjalan mendekat, lalu duduk di sebelah maminya. Ia menatap pemuda itu. "Kak Farel? Kapan sampai Indonesia?" tanya Shafa, berusaha terlihat senang.

"Udah dari 2 hari yang lalu, Dek. Tapi baru sampet ke sini," jawab Farel kalem.

"Shafa, mumpung Farel udah di sini, kalian kayaknya bisa keluar berdua, jalan-jalan, ngobrol, kan udah lama nggak ketemu. Ayo, cepetan kamu ganti baju," ujar Marisa, menatap Shafa agak tajam, kemudian menatap Farel dengan senyum.

Mendengar ucapan Marisa, Farel berkata, "Tante, kalau soal itu bisa lain waktu. Shafa juga kan baru pulang, mending istirahat dulu."

Shafa masih diam, menunduk memandangi sepatunya. Ingin menolak pun pasti maminya tak akan terima begitu saja. Sampai rumah bukannya merasa lebih baik, Shafa justru merasa lebih pusing.

"Nggak, Farel. Shafa bisa istirahat nanti kok," kata Marisa tenang.

Farel memandang Shafa. Farel tak ingin memaksa, namun sepertinya di sini malah Marisa yang memaksa.

"Iya, Mi." Shafa menghela napas lalu berdiri. "Bentar, ya, Kak. Aku ganti baju dulu," kata Shafa, tersenyum kecil pada Farel.

Melihat raut lesu Shafa, Farel seolah tahu kalau gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Farel menggeleng samar, memberi kode agar Shafa tak usah menuruti perkataan maminya. Setelah itu, Shafa kembali memperlihatkan senyumnya, memberi tahu Farel kalau tidak apa-apa menuruti ucapan Marisa.

Sembari berjalan, berkali-kali Shafa menghela napas, benar-benar pusing dengan jalan hidupnya. Shafa kembali merasa lelah atas takdir yang diterimanya.

Gadis itu memasuki kamar, menaruh tas lalu melempar tubuh ke tempat tidur. Shafa tuh punya dosa besar apa, ya. Sampai hidupnya gini banget. Dari kecil sudah jadi korban dari keretakan hubungan mami dan papinya, dipaksa sang mami menerima sosok papa baru, dipisahkan dari papi kandungnya, dijodohkan, tidak punya teman yang benar-benar tulus. Shafa sadar kok, selama ini Lana, Esther, atau pun Dina mau berteman dengannya karena ada maksud lain, tidak sungguhan tulus.

Shafa pernah punya satu teman yang sangat tulus, berhubungan baik sampai akhirnya berpacaran, siapa lagi kalau bukan Davin orangnya. Namun sayang, sepertinya Shafa tidak diizinkan untuk berlama-lama bahagia, masalah besar timbul lalu teman baik sekaligus kekasihnya itu pergi tanpa mau sedikit saja mengerti luka yang dirasakan Shafa. Shafa tidak menyalahkan Davin, ia paham kalau Davin juga terluka. Tetapi apa salah kalau Shafa berharap Davin sedikit saja peduli pada perasaannya. Shafa ingin Davin sadar, kalau Shafa juga merasa susah.

"Shafa!!!"

Gadis itu tersentak saat mendengar panggilan Marisa dari luar kamar. Shafa segera bergegas sebelum maminya marah.

"Cepetan, kamu ini ganti baju aja lelet."

"Iya, Mi. Bentar lagi!" jawab Shafa agak berseru.

Bagaimana Shafa harus mendeskripsikan sosok maminya. Shafa jelas sayang sang mami. Walaupun Marisa sering galak dan memaksanya, Shafa tetap menyayangi dan menghormati wanita yang telah mengandung dan melahirkannya itu. Kadang juga Marisa bersikap lembut dan tak marah-marah, namun ada saatnya di mana Marisa kembali menjadi sosok yang galak. Marisa selalu berusaha merawat dan memberikan yang terbaik untuk Shafa. Namun dengan caranya yang terkesan kejam, Marisa tak begitu memikirkan apakah anak sulungnya itu suka atau tidak. Shafa tidak lelah menjadi anak Marisa, Shafa hanya lelah dengan cara Marisa memperlakukannya.

Hey, Sha! | ✔Where stories live. Discover now