30. Meraih Asa

5.8K 312 71
                                    

"But here we are, after all the messes and confessions. To the scars that we never really owned as ours."
(Honeybee - The Head and The Heart)

***

"Ayuna itu kayak adekku sendiri. Nggak nyangka sih dia menjanda di usia muda begitu. Udah setengah tahunan deh suaminya itu meninggal. Mendadak, jantung gitu, habis jogging pagi, pulang-pulang ko it, kaget juga dapat kabarnya. Suaminya kan sehat gitu, bugar. Tapi, namanya ajal yaa?"

Kata-kata Pingkan masih menggema di ruang kepala Bagas meski sudah satu hari berlalu sejak mereka bertemu di sebuah kafe dekat kantor Bagas. Kafe tempat langganan Bagas untuk menikmati makan siang di awal bulan. Maklum gajian masih hangat-hangatnya sehingga sangat mendukung untuk memanjakan diri dengan cara jajan kelas mewah sebelum kemudian berganti dengan menu makan siang berupa nasi campur ala warteg nan merakyat.

Bagas tengah duduk santai di teras rumah orang tuanya kala itu sembari sibuk mengepul asap dari batang rokok andalannya. Jiwanya seakan tenggelam dalam ruang pikirannya sendiri yang kemudian kembali pada kesadarannya setelah mendapati suara sang ibu menyapanya dengan nada ketus mengejutkan, "Merokok terus kamu itu! Mau cepat mati?"

"Astaghfirullah, Ibu... Bikin kaget aja," celetuk Bagas sengaja abai dengan topik rokok. Bagas sangat yakin jika ia berusaha membela diri atau mengelak, ibunya hanya akan semakin memperpanjang pembahasannya hingga menyudutkan.

"Kamu itu lho, ngelamun aja," sahut ibunya lagi. Bagas hanya tersenyum kecut.

"Ada apa?" lanjut sang ibu seakan tahu bahwa ada hal-hal yang ingin disampaikan oleh anak lelaki bungsunya itu. Sungguh kuat sekali batin seorang ibu terhadap kekalutan anaknya.

Bagas terdiam. Ia mencoba mengumpulkan tekad untuk berbicara dari hati ke hati pada ibunya. Setelah menghela nafas berat untuk mengakhiri sikap diamnya lantaran sibuk mengingat-ingat renungannya semalam suntuk hingga sulit tidur, Bagas memberanikan diri untuk angkat bicara.

"Bu, kalau Bagas kepengen punya istri, gimana?" tanya Bagas impulsif yang membuat ibunya mengerutkan dahi dalam-dalam.

"Kamu itu lagi error apa gimana, Gas?" hujat sang ibu lantas mendaratkan jari telunjuknya ke dahi Bagas yang membuat Bagas cengengesan sembari menggaruk pelipis kanannya yang tidak gatal sedikitpun.

"Dari dulu yang ditunggu itu kamu ngomong minta nikah, kok malah nanya lagi?" lanjut ibunya dengan menunjukkan mimik wajah geram.

"Bukan gitu, Bu. Bagas kan lagi grogi ini, maklumi dong. Lagipula...." kata-kata Bagas terhenti sejenak seakan begitu berat untuk merampungkan kalimatnya.

"Lagipula apa?" sergah ibunya cepat lantaran sangat penasaran. Sudah lama ia menunggu Bagas memohon izin menikah padanya sekaligus ia begitu ingin tahu perempuan seperti apa yang akhirnya menaklukkan anak lelakinya yang keras kepala itu.

"Bu, Bagas bertemu dengan seorang perempuan yang begitu tabah menghadapi hidup, seorang ibu yang begitu kuat demi kebahagiaan kedua anaknya. Perempuan seperti itu bolehkah mendampingi Bagas, Bu?" ucap Bagas lirih dan perlahan.

"Itu pun kalau dia mau sama Bagas sih, Bu." lanjut Bagas dengan malu-malu dan setengah tak yakin dengan keinginannya.

"Janda?" tanya sang ibu dengan telak.

DESIRANWhere stories live. Discover now