2. Bagas

3.9K 317 7
                                    

"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia."
(Ali bin Abi Thalib)

***

Matahari mulai berani mencurahkan seluruh kehangatannya setelah sepagian ini terpaksa berlindung di balik awan mendung yang sedang betah unjuk gigi melayang kesana kemari di bentangan langit semesta.

Meski sesungguhnya hampir mencapai waktu tengah hari, suasana bumi terasa sejuk dan membuat manusia-manusia yang masih terlelap di pembaringan dengan alam bawah sadarnya merasa tak memiliki atau mungkin tak ingat tuntutan yang harus dilakukan di pagi hari memilih enggan untuk bangun, termasuk Bagas.

Di kamar yang cukup luas untuk ditempati seorang diri, bernuansa minimalis dan dihiasi perabotan seadanya, Bagas terlihat tertidur sangat pulas. Bagas pun sudah berkali-kali mematikan alarm dari gawai yang ia letakkan di atas nakas tepat di samping tempat tidurnya. Ia sengaja tak menghiraukan peringatan untuk bangun pagi dari gawainya. Pak Indra, atasannya di kantor sudah mengizinkannya untuk tidak masuk karena sehari sebelumnya Bagas diminta mengejar laporan yang menuntut Bagas tidak tidur semalam suntuk.

Cukup kirimkan berkas laporan sebelum pagi melalui surel dan Bagas bisa libur dari kewajiban masuk kantor. Saat ini mungkin hanya rasa lapar yang mampu membuat seorang Bagas terbangun.

Jam dinding di kamar Bagas sudah menunjukkan pukul 12.30 siang waktu setempat. Gawai milik Bagas kini berdering kembali, namun bukan berasal dari fitur alarm, melainkan dering tanda seseorang tengah menghubunginya dari ujung saluran lainnya. Tanpa membuka kedua matanya dan tetap membiarkan tubuhnya meringkuk di balik selimut, Bagas meraih gawai miliknya dengan malas.

Bagas menerima panggilan tanpa menyapa, ia tak melihat barisan huruf yang membentuk sebuah nama di daftar kontak yang muncul pada layar gawainya sehingga ia memilih menunggu suara dari seberang menyapanya, memastikan siapa yang tengah mengganggu tidur nyenyaknya lalu kemudian mengambil sikap yang pantas.

"Bagas, kamu masih di kantor?" ucap suara wanita paruh baya yang mengesankan ada rasa kesal tersimpan di sana.

"Ha?" sahut Bagas yang terkesan linglung dan itu cukup membuat wanita itu tahu bahwa seorang Bagas pasti sedang tertidur pulas sesaat sebelum menjawab panggilan.

"Bagas, kamu tidur? Nggak ngantor?" cercah suara di seberang yang mulai meninggi dan sangat dikenali Bagas sebagai suara Ibu yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan dirinya hingga ia kini telah lepas dari pandangannya untuk hidup mandiri.

"Libur, Buuuu...." jawab Bagas dengan nada malas. Kali ini Bagas bangkit dari tidurnya dan mengambil posisi duduk di atas kasur sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ia tahu Ibunya akan mulai bicara panjang lebar dan tak mungkin langsung menutup saluran telepon.

"Jadi kamu lupa Ibu ngajak kamu makan siang di rumah? Kamu lupa Ibu ada acara arisan?" celetuk Ibunya kesal.

"Masih pagi, Bu..." jawab Bagas asal-asalan hanya berdasarkan nuansa sejuk yang terasa nyaman memanjakan indera perabanya.

"Masih pagi dari HONGKONG! Ini sudah siang, Bagas! Buruan ke rumah, cepat atau kamu nggak usah makan di rumah, makan aja di warteg sana!" omel ibunya lagi dan masih berlanjut kemana-mana.

Bagas sendiri mendengarkan sepintas lalu sambil memicingkan matanya menatap jam dinding di hadapannya yang terlihat kabur sehingga Bagas harus memilih meraih kacamata yang tergeletak di atas nakas terlebih dahulu, mengenakannya dengan bantuan sebelah tangan sebab tangan lainnya masih menggenggam gawai untuk tetap melekat di telinganya, lalu kemudian Bagas akhirnya bisa melihat jarum pendek jam di kamarnya memang sudah melewati angka tengah hari bahkan hampir mencapai angka 1.

DESIRANWhere stories live. Discover now