27. Wejangan

1.7K 164 14
                                    

"Sesekali aku ingin tidak memikirkan siapa pun, tidak kamu, tidak juga diriku. Hidup kadang terasa ingin kosong saja untuk beberapa saat."
(Boy Candra)

***

Sudah hampir tiga bulan penuh lamanya Bagas membiarkan dirinya tenggelam dalam  kesibukannya bekerja. Tak ada yang lebih disukai Bagas selain menjadi sibuk. Saat ini, bagi Bagas menjadi manusia yang nyaris tak punya waktu untuk bersantai sejenak, bahkan sekedar untuk menyenangkan dirinya sendiri adalah hal yang terbaik bagi hidupnya.

Karena menjadi sibuk membuat Bagas tetap waras.

Karena menjadi sibuk membuat Bagas mampu menggunakan logikanya dengan maksimal.

Menjadi sibuk adalah sebuah kesenangan yang mampu membunuh pikiran kurang ajar Bagas yang mencoba berani  berkelana untuk membuat Bagas terkenang kembali saat-saat terakhir ia terpaksa menerima penolakan Maria untuk yang kedua kalinya.

Bagas tidak suka bila perasaan hampa saat itu kembali menelusup ke dalam jiwanya. Bagas akui memang  hatinya sudah kosong, sudah lelah, bahkan sudah jera. Ia mengerti akan akhir yang harus ia terima dari kisah cinta yang sudah lama dipeliharanya secara sepihak dan sialnya lagi hanya membuang energi dan waktu Bagas selama ini.

Sungguh  suatu usaha hati untuk merengkuh yang sia-sia belaka. Bodoh!

Namun luka tetaplah sebuah rasa sakit yang bagaimanapun juga, meskipun disembuhkan dengan bantuan obat yang paling mujarab sekalipun, luka itu tetaplah membutuhkan waktu untuk pulih kembali. Begitupun luka hati Bagas. Bagas memang percaya bahwa  waktu akan menyembuhkan luka hatinya kali ini, meskipun ia tak tahu pasti dirinya akan membutuhkan waktu berapa lama.

Seumur hidup, mungkin?

Sebenarnya kali ini luka hati Bagas bukanlah sekedar tentang Maria saja. Sebulan setelah kejadian penolakan yang terasa begitu tragis dari Maria, Bagas nyaris berhasil melupakan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan yang dideranya. Bagas mulai menerima, berdamai dengan kenyataan hingga suatu malam ia tertarik untuk melabuhkan dirinya yang begitu penat pada sebuah bangku kosong di sebuah cafe yang terletak di dalam mall tengah kota dan berada tidak begitu jauh dari apartemen tempat ia tinggal.

Tidak ada salahnya memanjakan diri yang terlalu patah ini,

Lagipula sedang akhir pekan,
Barangkali semangat dirinya mampu berpijar kembali setelah menyesap secangkir cappuccino hangat dan sepotong chicken puff pastry yang menggiurkan,

Begitulah angan-angan indah yang menggoda Bagas kala itu. Mengajak langkah kakinya untuk berangkat menuju mall tersebut dengan ringan dan riang. Lahir dari bisikan hati yang terasa bagaikan takdir baik sedang menuntun Bagas pada malam yang dingin itu. Disambutnya dengan tangan terbuka, diwujudkan dengan keberadaan jiwa dan raganya yang pada akhirnya menikmati malam panjang di cafe dalam mall itu meski dalam kesendirian.

Memang menyenangkan pada awalnya, hingga kemudian sebuah pemandangan tak biasa mulai tersaji di depan matanya. Sedikit membuat Bagas merasa sinis dengan pikirannya sendiri sebab yang menyita perhatiannya, terpampang nyata sepersekian detik setelah ia memikirkannya.

Dia adalah, Ayuna!

Sosok itu muncul tepat dijangkauan pandangan Bagas meski dari jarak yang terlampau jauh bahkan untuk Ayuna menyadari bahwa Bagas tengah memperhatikannya. Ada rasa tidak suka disana, ada rasa tidak terima disana, di hati Bagas ketika harus melihat Ayuna tengah jalan beriringan berdua dengan sang suami, Irwan.

Ada riuh riang gembira dua anak kembar lugu yang bahagia, menatap bergantian pada kedua orang tuanya dengan begitu suka cita entah sedang sibuk membujuk keduanya agar membelikan mainan yang mereka inginkan atau sekedar berceloteh riang yang ingin didengarkan.

DESIRANWhere stories live. Discover now