9. Wedding Card

24 3 0
                                    

Percaya atau tidak percaya, tetap kita harus percaya pada kenyataan. Sudah dua minggu dari kejadian reuni kemarin. Kini, Senja sudah seperti biasanya--menjalankan aktivitas sekolah.


"Lo tau gak sih, denger-denger ya, si Rina itu mau nikah loh." kata Dania dengan sedikit mencondongkan tubuhnya pada teman sebangku yang kini duduk berhadapan di depannya.

"Rina?" Senja seperti tengah mengingat-ngingat dengan gaya bila mata yang menerawang ke atas.

Dania mengangguk dengan cepat. "Iyah bener. Rina. Lo inget kan? Yang waktu kelas sepuluh sekelas sama kita, tapi dia tiba-tiba keluar sekolah gitu aja." Ucapnya begitu antusias sekali.

"Oh iya, iya inget. Kenapa emang?"

"Ya masa, gue denger kabar kalau dia mau nikah minggu ini?" Ucapnya terdengar bingung dengan kedua mata yang mendelik dan tangan terbuka.

"Tau dari mana?"

"Soalnya gue udah nerima undangan dari dia, makanya gue kasih tau lo. Emang lo belum tau?" Dania bertanya penasaran pada kalimat akhirnya.

"Belum, aku gak tau sama sekali." Jawab Senja beserta gelengan kecilnya.

"Emangnya lo belum terima undangan dari Rina?" Tanya teman sebangkunya lagi, lalu untuk kedua kalinya Senja hanya menggeleng. "Mungkin belum kali, masa iya lo gak di undang." Lanjut Dania dengan gaya yang sedang merebahkan punggungnya ke belakang.

"Iya mungkin."

"Tapi masa ya, baru umur segini dia udah mau nikah aja? Lagian, waktu kelas sepuluh dia itu anaknya kaya ... kaya apa ya? Kaya yang gak pernah punya pacar gitu." Dania berbicara seolah-olah dia yang paling tahu.

"Ya, kan kalo jodoh gak ada yang tau."

"Gitu ya?"

***

Kini, Senja, Austin, Vino dan Dania--mereka berempat berada di kantin, menggunakan waktu jam istirahat bersama.

Interaksi dari keempat remaja itu sedikit mengundang perhatian sebagian murid yang berada di sekitarnya. Gelak tawa dari Vino dan Dania, mampu membuat orang menolehkan kepala mereka sejenak, hanya sekedar untuk melihatnya dan kembali kepada makanan mereka.

Hubungan Senja dan Austin kian semakin dekat, seiring dengan berjalannya waktu. Tak ada lagi kecanggungan di antara keduanya.

"Itu punya gueee. Masa mau di embat juga? Gak kenyang apa udah abis semangkok itu bakso."

Bagaimana tidak marah. Mungkin Vino memang sudah menjabat sebagai pacarnya, namun ia tetap tidak suka dengan sikapnya.

"Kan mau nyobain punya kamu." Ucap Vino, dengan wajah yang sedikit memelas.

"Nyobain apa ngabisin? Nyobain ko banyak-banyak gitu." Balas Dania dengan nada yang sedikit kesal plus dengan bibirnya yang mencebik.

"Yaudah maafin yah Dania yang cantik. Sayangkuh. Cintakuhhh." Ucap Vino dengan menyatukan kedua tangannya, yang lantas membuat Senja bergidik mual. Lebay.

"Yaudah. Nanti pulang sekolah kita ke Mall! Beliin apa aja yang aku mau, titik! Gak pake koma." Ucap Dania memerintahnya--setidaknya mengambil kesempatan emas dalam situasi.

Austin hanya memandang iba pada Vino, sekaligus merasa janggal dengan hubungan keduanya.

"Yah. Nanti dompet aku abis dong yang?" Ucap Vino, dengan ekspresi wajah yang kentara sekali sangat keberatan.

"Dasar es Vino." Tangan itu menyentil dahi. "Yang abis itu duitnya, bukan dompetnya." Sahut Austin dengan cepat, dan satu lemparan keripik pun ia layangkan padanya.

Menunggu Senja (End)Where stories live. Discover now