41. Kemping.

16 1 0
                                    



Sepasang remaja itu terlihat sedang berkeliling, mencari keperluan untuk kemping nanti. Karena rupanya cukup banyak juga yang mereka butuhkan. Mulai dari jaket seperti mantel agar dapat menjaga kehangatan badan. Kupluk agar tidak membuat telinga kedinginan. Carier untuk membawa perlengkapan baju dan makanan mereka. Lalu ... Apalagi?

"Apa aja yang harus kita beli?" Si gadis bertanya karena tidak tahu menahu akan barang apa yang di butuhkan. Pandangannya meneliti setiap yang ia temui. Kakinya masih melangkah secara perlahan.


"Banyak."

"Sering kemping ya?" Si gadis bertanya karena dirinya belum pernah sama sekali. Bisa di bilang ini untuk pengalaman pertama nya.

"Iya. Waktu di Bandung sih. Tapi sejak pindah ke Jakarta beberapa bulan lalu, udah nggak." Jawabnya, masih melihat-lihat jaket tanpa menoleh.

"Sama siapa aja?"

"Banyak. Sama temen-temen di Bandung." Balasnya sembari mencoba jaket yang ia pilih.

"Lo juga harus coba. Ini kan bakal jadi kemping pertama lo, pasti lo suka. Lo bakal ngerasain gimana pertama kalinya tidur di hutan." Tangannya melepaskan jaket yang ia coba. "Mungkin pertama bakal ngerasa gak nyaman atau ada sedikit rasa takut. Tapi kalo udah di rasain itu bakal buat lo ketagihan seumur hidup buat coba terus."


"Seseru itu?"

"Iya. Seru banget sih emang. Bahkan waktu di Bandung, gue sama Aurell sering banget kemping berdua. Aurell suka antusias kalo udah denger yang namanya kemping. Mungkin dia kalo dengar di sekolah bakal adain kemping dia bakal seneng banget. Terus bakal maksa gue buat ikut. Percaya deh."

Senja tiba-tiba terdiam di tempat, tatkala mendengar nama Aurell terus di sebut di dalam obrolan mereka. Raut wajahnya semakin terlihat jutek tanpa di sadari.

"Kadang tiap libur sekolah, Aurell suka ngajak gue. Dia suka ngerengek minta ngecamp, walaupun gue gak mau. Tapi dia terus bujuk sama maksa gue, supaya mau ngecamp bareng."

Austin terus saja bercerita tanpa menoleh pada si gadis yang sedang bersamanya. Dirinya terlalu sibuk bercerita sendiri tentang kebersamaannya bersama Aurell.

Si gadis di belakang hanya tersenyum miris. Merasa sekali jikalau dirinya adalah orang ketiga, di antara sepasang sahabat ini.

Austin masih terus bercerita. Berhenti Ketika merasa tidak ada respons sama sekali dari lawan bicaranya. Kepalanya menoleh pada Senja--yang berdiri diam, melamun, dengan memegang mantel di tangan kanannya.

"Senja." Tubuh itu berbalik dan berjalan kembali ke arah belakangnya. "Lo kenapa?" Lalu sebelah tangan pun mendarat di bahu.


"Seru banget ya cerita nya?"


"Gue pikir lo kenapa." Helaan napas lega cukup terdengar dengan lepasnya lengan dari bahu si gadis. "Emang seru banget. Gue Sama Aurell kalo malem-malemnya itu, suka buat api unggun sambil nyanyi-nyanyi bareng. Sesekali lo harus coba, asli."

Menunggu Senja (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora