5. Jalan bareng

24 2 0
                                    

Seperti sebuah kesempatan untuk bisa lebih mengenalmu. Itu adalah kalimat keberuntungan bagi siapa saja.


Gorden kamar terbuka dengan nyaring oleh si pemilik rumah, kilau dari cahaya matahari pagi menusuk bak belati pada mata yang masih terpejam dengan rapat itu. Sementara di sisi pembaringan, gadis yang tengah tertidur nyenyak di atas kasurnya hanya menggumam kecil dan masih dengan kedua mata yang tertutup rapat.

"Bangun Senja. Sudah ada Austin di bawah, dia nungguin kamu ." Bisikan sang mama yang tepat membungkuk di depannya rupanya tak ada efek apapun pada sang gadis.

"Mama gak usah bohong ... Ngapain hari Minggu dia datang kesini." Anak gadis itu menggumam dengan mata terpejam bersuara seperti tengah mengigau.

"Kalo gak percaya coba kamu cek. Dia lagi ngobrol sama papa."

"Serius?"

Gadis remajanya itu seketika bergerak bangun kayaknya zombie yang matanya membelalak horor. Rupanya sang mama sudah ingin melenggang pergi dari kamarnya.

"Kapan mama bohong." Sahutnya sebelum benar-benar keluar dari sana dan meninggalkan putrinya dengan keadaan naas yang di luar batas.

Senja mendesah.

"Ah menyebalkan sekalih, ahhh--" kembali gadis itu terjungkal di tempat tidurnya sendiri dengan gaya yang sangat dramatis. "Dasar hama pengganggu manusia-- ah menyebalkan."

***

"Aca mana mah?"

Pertanyaan itu terlontar saat anak gadis pertamanya sudah turun dan menyapanya dengan air muka yang terlihat tidak bersemangat sekali.

"Adik kamu masih tidur, biasa ...  semalam dia nonton sampai larut lagi mumpung sekarang hari minggu katanya." Teh yang di aduknya tak luput dari pandangan sang putri.

Disisi lain, remaja laki-laki sedang duduk bersama dengan pria paruh baya. Remaja yang masih berumur belasan tahun itu sudah rapi dengan pakaian santainya--berniat olahraga pagi dengan handuk kecil yang sudah melingkari kepalan tangannya sekarang.

"Kalian mau olahraga kemana?" Tanya pria yang lebih tua disana.

"Di sekitar taman aja Om." Remaja laki-laki itu menjawab dengan kedua tangan yang saling tertaut santai.

"Sudah bilang pada anak Om dulu sebelumnya kalo pagi ini mau olahraga?"

Austin menggeleng.

"Belum Om."

***

"Sering lari pagi kaya gini?" Cowok itu bertanya dengan langkah kaki yang berlari santai di sampingnya.

"Enggak."

"Oh."

Karena rupanya gadis di sebelahnya tak lagi mengeluarkan kata, cowok itu berinisiatif lagi untuk bertanya.

"Kenapa?"

"Males."

Cowok itu sekilas ingin tertawa namun di redam dengan senyum simpul saja. "Memang dasarnya perempuan, mereka lebih identik dengan sebutan kaum rebahan." Ucapnya berkata sembari mengejek.

"Enak aja." Tentu gadis di sebelahnya merasa tidak terima di cap seperti itu. Alih-alih berujung debat antara mereka, rupanya Austin lebih memilih mengajak untuk berhenti sejenak.

"Istirahat dulu."

Tembok yang terbuat dari semen dengan tinggi sekitar pinggang orang dewasa menjadi tempat mereka berdua duduk untuk meluruskan masing-masing kakinya.

Menunggu Senja (End)Where stories live. Discover now