26. Bidadar

19 1 0
                                    

Rasa akan terus tumbuh semakin besar, namun akan ada kalanya rasa itu berubah menjadi kesedihan.


Suara gemercik air di toilet bawah bisa terdengar oleh gadis yang baru saja melangkah menuju dapur. Gadis itu membuka kulkas dan membawa beberapa cemilan dari dalamnya. Kakinya berjalan kembali menuju ruang tengah, untuk menonton televisi.

Boneka beruang coklat itu tampak sudah duduk di atas sofa sendirian. Sampai-sampai, gadis yang membawa beberapa cemilan itu tergoda untuk duduk di sampingnya--dengan menikmati cemilan dan film yang akan ia tonton.

Klik

Televisi di depannya sudah menyala menampilkan episode drama yang akan berlanjut. Ia mulai memakan cemilannya, dengan posisi yang menyandar pada boneka beruang besar di sampingnya. Sangat nyaman dan hangat.

Bisa di lihat dari balik televisi, terlihat remaja laki-laki yang berjalan santai menghampiri dengan rambut yang terlihat basah--Austin baru saja selesai mandi di rumahnya.

"Buat apa ada gue, kalo nyendernya aja sama boneka." Ucapnya si cowok seraya duduk di sebelahnya, merentangkan sebelah tangan pada punggung sofa dengan gaya duduk untuk bersantai.

Senja tidak terganggu. Gadis dengan kaos putih kebesaran itu terlihat santai dengan cemilan yang sedang di makan. Kedua katanya terlampau fokus pada drama yang sedang terputar di layar kaca.

"Aku mau tanya boleh?" Si gadis berucap  bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi di depan sedikit pun. Bibirnya tak henti mengunyah sebelum habis tertelan.

"Itu barusan tanya." Sahut si cowok dengan kepala yang sudah menyandar penuh pada punggung sofa.

"Bukan yang itu pertanyaannya." Si gadis sudah menolehkan kepala seraya berkata dengan sedikit bernada di tekan. Austin pun menatapnya dengan benar kali ini.

"Emangnya apa yang mau di tanyaiin?" Ucapnya, menghadapkan tubuhnya sendiri ke samping dengan kedua alis yang menyatu terangkat.

Si gadis juga ikut merubah posisi duduknya agar lebih menghadap pada si cowok dengan benar dan tidak miring. Mengabaikan drama yang sedang di tonton begitu saja.

"Alasan kamu pindah sekolah ke sini, kenapa? Emang di sekolah yang  sebelumnya ada masalah?" Tanya si gadis membuat cowok di sana diam tak bergeming--seperti tengah memikirkan sesuatu.

Austin tidak bisa untuk berkata yang sejujurnya--bahwa alasan ia pindah sekolah, hanya untuk menghindari sahabat yang sangat ia cintai. Jelas itu tidak mungkin untuk ia katakan dalam situasi saat ini.

"Gue pindah ke sini." Kepalanya mendongak sesaat tuk menatap  langit-langit rumah dan kembali pada mata si gadis. "Pertama, sekolah ini punya papa gue. Kedua, gue udah bosen sekolah di Bandung. Gue pengen coba suasana sekolah yang baru dan alasan terakhir, gue mau ngadain acara reunian dua sekolah saat gue lulus." Jawabnya tak main-main untuk di dengar.

"Cuma karena itu aja alesannya?" Tanya si gadis dengan kedua alisnya yang hampir menyatu, dan kening yang berkerut tak masuk akal.

"Iya. Itu. Di tambah gue ngerasa beruntung banget karena gue pindah sekolah ke sini, gue dapet pacar kaya lo." Ucapnya lebih tak kira-kira untuk di dengar, membuat sudut bibir si gadis  berkerut--menahan untuk tidak tertawa.

"Pacar? Emang kita udah jadian." Ucap si gadis--tentu saja ia hanya bercanda.

"Gue kira lo gak bakal pikun di usia dini kaya gini ya. Lo juga gak ngalamin kecelakaan yang bikin lo amnesia?" Jemari tangannya menunjuk kepalanya sendiri, merasa gemas dengan gadis yang justru tengah tertawa kencang sekarang.

"Kalo nanti kita putus. Kita pisah, gimana?" Tanya si gadis begitu saja setelah tawanya mereda. Kedua kakinya menyilang di atas sofa dengan kedua tangan yang saling terkait di depan.

"Jangan sampe. Pokoknya kita gak boleh putus." Jawabnya, sedikit serius.

"Dasar. Suka seenaknya."

Si gadis kembali merubah posisi duduknya menghadap televisi di depan, mulai bersandar kembali pada boneka beruang besar di sebelahnya.

"Emang lo mau putus sama gue?" Aku bertanya demikian seraya menatap si gadis dari samping. 

Senja menggeleng untuk sesaat walau tak melihat padanya. Bibirnya bergerak untuk berkata. "Enggak."

Tangan si cowok tak tahan untuk tidak bergerak ke atas kepalanya, mengacak rambut si gadis yang terurai panjang sebahu sampai terlihat berantakan.

"Stop! Gak usah ngacak-ngacak rambut." Si gadis marah. Menyingkirkan tangan Austin dan merapikan kembali rambutnya hingga benar seperti semula.

Si cowok hanya tertawa kembali pada posisinya yang berjarak.

"Orangtua kamu tinggal di Jakarta?" Si gadis kembali bertanya, dengan mata yang kembali menoleh fokus menatap cowok di sampingnya.

"Iya."

"Di Bandung tinggal sama siapa?"

"Nenek."

"Kenapa lebih milih tinggal di Bandung, kalo orangtua kamu aja ada di sini?" Tanyanya lagi seolah ingin tahu latar belakang cowok yang sedang bersamanya sekarang.

"Emang gak boleh?" Tanya Austin balik bertanya pada si gadis.

"Boleh."

Keduanya terdiam. Untuk beberapa menit mereka habiskan hanya untuk saling tarao menatap satu sama lain tanpa ekspresi yang aneh-aneh.

"Pernah punya pacar?" Si gadis kembali bertanya secara tiba-tiba setelah keduanya saling diam satu sama lain.

"Pernah."

"Cantik orangnya?"

Sudut bibir si cowok sedikit terangkat setengah geli akan pertanyaannya. Namun bibirnya tetap saja bergerak untuk menjawab. "Cantik." Terdengar nada sedikit sombong di sana.

"Pinter orangnya?" Si gadis masih saja ingin bertanya semakin detail.

"Pinter banget malahan."

"Terus kenapa sekarang gak sama dia?" Air mukanya sedikit masam, tersirat sedikit nada kecemburuan pada suaranya.

"Soalnya, ada yang lebih cantik lagi di sini." Ucap Austin membuat si gadis menolehkan kepalanya ke samping secara kasar. Senja terlihat marah.

"Siapa namanya?"

Walau begitu, Senja tetap terus bertanya bahkan mata yang tengah menatap layar menyala di depannya.

"Senja." Austin sedikit memajukan badannya saat berkata demikian. Matanya sedikit memicing saat bibirnya tersenyum.

"Emangnya dia cantik?"

Austin mengangguk.

"Secantik apa?"

"Cantik. Kaya bidadari."

Si gadis mengembungkan kedua pipinya saat mendengar kalimat bualan tersebut. Kepalanya sudah tak waras saat kedua sudut bibirnya berusaha untuk tetap terkatup rapat, agar tidak tersenyum. Ia terjebak cinta monyet di masa remaja nyatanya.

"Oke."

"Oke apa?" Austin bertanya masih menatap si gadis yang tak hentinya memalingkan wajah darinya.

"Gak apa-apa."

Lantas setelah kalimat itu terucap, Austin tidak bisa untuk menyembunyikan tawanya yang langsung pecah saat itu juga. Tawanya kencang sekali, nyaris mengalahkan suara dari volume televisi yang di setel begitu keras.

Yah nyatanya, jatuh cinta di kala SMA memang sangat menyenangkan. Mampu membuat beribu-ribu kupu-kupu di dalam perut serasa berterbangan tak menentu. Matanya menyipit sebagaimana bibirnya yang perlahan-lahan melengkung ke atas.

Bahkan drama di televisi pun serasa tak ada bandingannya dengan jalan ceritanya sendiri.

***

Menunggu Senja (End)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu