[]Part 15[]

472 57 18
                                    

Nathan menyilangkan tangannya di depan dada. Tatapannya menyorot ke samping dengan punggung yang bersandar pada pagar pembatas di lantai dua. Satu kakinya terangkat menekan pagar pembatas itu. Ia sedang berada tepat di depan kelas kosong yang sekarang beralih fungsi menjadi gudang.

Ia sedang memperhatikan dua orang remaja yang tengah berinteraksi. Disana sepi, hanya ada mereka bertiga. Namun, entah Nathan yang pandai menyembunyikan hawa keberadaannnya atau dua orang itu yang terlalu fokus dengan pembicaraan mereka hingga mereka tak menyadari akan kehadiran Nathan.

Nathan mengenal mereka. Satu diantaranya adalah Elvin, anak kelas tetangga yang saat awal-awal kepindahan Nathan kesini mereka diharuskan untuk bertanding kemampuan di bidang akademik oleh salah satu guru disana. Nathan meyakini kalau guru itu adalah guru pembina olimpiade maupun segala lomba-lomba akademik lainnya. Karna, saat dulu Nathan mewakili sekolah lamanya untuk lomba, ia melihat guru itu. Sedangkan satu lainnya, adalah seorang adik kelas perempuan yang pernah Nathan lihat mengantarkan kado pada Reva.

Bisa Nathan lihat Elvin memberikan sebuah kotak kado berwarna pink pada gadis itu. Setelah menerima, gadis itu seperti berpamitan pada Elvin. Berbalik, dan ia tersentak kaget saat matanya melihat sosok Nathan disana.

Gadis itu menunduk, berjalan cepat melewati Nathan tanpa berkata apa-apa.

Elvin yang juga baru menyadari ada Nathan, berdeham pelan. Ia masih tetap diam di tempatnya seraya menatap Nathan dalam diam.

Hembusan angin yang menerpa mereka berdua menggerakan rambut halus keduanya. Dasi yang dikenakan mereka pun sedikit bergerak mengikuti hembusan angin.

Beberapa saat mereka diam, hingga akhirnya Nathan menghela nafasnya pelan. Menurunkan kakinya dan memposisikan dirinya agar berhadapan dengan Elvin.

"Lo... Ada rasa apa sama adik gue?" tanya Nathan langsung pada intinya.

Elvin tak langsung menjawab. Pemuda itu berjalan semakin dekat ke arah Nathan, menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas. "Adik lo? Siapa?"

"Reva," balas Nathan.

Elvin tampak terkejut sesaat, namun ia segera menetralkan rasa terkejutnya itu. Elvin menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit dengan ekspresi yang tak dapat di artikan. Setelahnya dia menatap ke samping, memperhatikan Nathan yang sedang menunggu jawabannya. "Kalau gue suka... Lo percaya?"

"Atas keniatan lo kasih dia hadiah, gue rasa, itu bukan hal yang mustahil," jawab Nathan.

"Andara Reva Syihab, gue suka sama dia. Jauh, jauh sebelum gue tau nama dia," Ujar Elvin menerawang.

"Cara lo gak gentle. Kalau suka, ungkapin," tutur Nathan.

Elvin bergumam tak jelas. Nathan gampang saja bicara seperti itu. Tapi bagi Elvin, mengungkapkan perasaan pada seorang gadis adalah hal yang sulit. Bahkan, untuk berkenalanpun ia tak berani. Reva terlalu menantang baginya.

"Dia suka Alvaro. Gue gak mau rusak hubungan mereka. Cukup mencintai dalam diam. Itu aja cukup buat gue," ucap Elvin santai. Sepertinya dia memang tak berniat untuk memiliki Reva.

"Sekarang udah berubah. Kalau lo tulus, gue izinin. Kalau berani sakitin dia, jangan harap kondisi wajah lo bakal normal," ujar Nathan seraya berjalan menjauh dari Elvin. Pergi meninggalkan lantai dua dan berjalan gontai menuju taman belakang. Ia butuh menyendiri saat ini.

=====

Di ruang keluarga, Reva tampak tenang dengan pandangan kedepan. Menonton acara gossip yang ditayangkan sore ini. Di pangkuannya terdapan setoples keripik kentang yang dengan keniatannya ia campurkan dengan sambal tabur merek ternama.

Beberapa saat ia seperti itu, hingga akhirnya Reva mengalihkan pandangannya pada Kirana yang sejak tadi berjalan mondar-mandir di belakang kursi yang Reva duduki. Seberusaha apapun Reva mengabaikan ibunya itu, tetap saja Reva tak akan bisa. Sungguh, pergerakan yang diciptakan Kirana membuat konsentrasi Reva terhadap gosip jadi kacau.

Reva berdecak pelan, ia menaruh toples keripik kentangnya di atas meja. Setelahnya dia kembali melihat Kirana, menumpukan dagu dan tangannya di atas kursi.

"Mah, kenapa, sih? Dari tadi kayak orang kelilit utang aja," ucap Reva.

Kirana berhenti mondar-mandir, dia kemudian menunjukan layar ponselnya yang menampilkan roomchat aplikasi Whatsapp. "Mama di tembak temen rp mama, Re. Gimana ini?" tanya Kirana.

Mendengar pertanyaan itu, Reva sontak menegakan tubuhnya. Menatap Kirana lebih serius dari sebelumnya. "Mah, cepat minggat dari rp rp itu. Kalau papa tau, bisa bahaya."

"Males, ah, Re. Lagian kan mama gak selingkuh beneran. Ini juga mama belum jawab, kan mama gak suka sama dia. Papa kamu tetap di hati mama, kok," tutur Kirana.

Reva menghela nafasnya lelah, berbicara dengan Kirana memang selalu seperti ini. Terlalu ajaib untuk kalimat-kalimat yang biasa diucapkan seorang wanita paruh baya.

Reva menyodorkan telapak tangannya ke arah Kirana, menggerak gerakan jarinya dan berujar, "sini Reva lihat hp mama."

Kirana tampak menilai sebentar, tatapan matanya begitu menyelidik ke arah putrinya itu. Seperti tak yakin kalau ia memberikan benda pipih berwarna gold itu padanya.

Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri, Kirana akhirnya memilih menyembunyikan ponselnya di balik tubuhnya. Sama sekali tak mau memberikan benda itu Reva.

Reva mengernyit, tangan kanannya semakin ia ulurkan, gerakan jari-jarinya semakin ia percepat. Tanda bahwa Reva sudah tak sabar ingin menerima ponsel Kirana.

Kirana berjalan mundur, kepalanya terlihat menggeleng kuat. "Gak, jangan berani-berani kamu rawat hp mama. Gak sopan tau," ucapnya.

Reva yang mendengar ucapan Kirana merubah rautnya menjadi datar. Tangannya yang masih terulur ia tarik kembali. "Mana ada Reva rawat hp mama. Cuma mau lihat doang juga. Suuzon aja jadi ibu-ibu," ujar Reva.

Kirana tetap tak percaya. Ibu rumah tangga itu masih tetap menyembunyikan ponselnya di balik tubuhnya. Padahal jarak dirinya dan Reva cukup jauh, mana mungkin Reva berhasil merampas ponsel itu.

"No, no, no. Mama gak akan kena tipu muslihat kamu. Kamu mau rawat hp mama, kan, biar mama gak bisa main rp lagi? Ngaku aja, Re, mama udah hapal tabiat kamu," tutur Kirana.

Reva merotasikan matanya. Kenapa ibunya itu sungguh curigaan terhadapnya?

"Plisdeh, mah. Ribet amat sih kita. Ayo sini kasih Reva hp mama. Cuma mau cek aja. Reva kepo sama dunia mama itu. Sini sini," ujar Reva yang kembali mengulurkan tangannya.

Kirana memberenggut. "No. Gak bisa gitu. Yang ada mama yang harus cek hp kamu. Kan mama yang orang tua disini. Kamu sebagai anak harusnya nurut, bukannya maksa-maksa. Gak beradab itu namanya."

Sudah! Reva menyerah, ia sudah kalah sekarang. Reva menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan terartur. "Yaudah terserah mama aja. Pwincess mengalah demi baginda ratu."

Kirana tersenyum lebar mendengarnya. Setelahnya dia kembali melihat layar ponselnya, membaca pesan dari seseorang yang membuatnya bergidik sendiri. Pesan yang mengajaknya untuk berpacaran di dunia lain, dunia roleplayer yang sekarang sedang ia tekuni. Dengan yakin ia mengetik beberapa kata pada keyboard ponselnya, memberikan pesan pada orang itu agar tak lagi mendekatinya. Sungguh, walau ini hanya permainan, Kirana tetap tak mau menghianati Mahes. Suaminya yang menurutnya sangat gagah berani itu. Walau terkadang menyebalkan, tapi Mahes tetaplah pasangan hidupnya.

Setelah berhasil mengirimkan pesan itu, Kirana mematikan ponselnya, menaruhnya di atas rak yang berisi majalah-majalah. Kemudian dia melirik ke arah Reva yang sedang memberenggut dengan kedua tangan terangkat dan siap mencakar apa saja. Entah apa yang terjadi dengan anak itu, Kirana akan menanyakannya.

"Re, kam---"

"GILA GILA GILA GILA, GUE KETINGGLAN GOSIPNYA RAFATAR. HUWAAAAA, HANCUR SUDAH HANCUR. SIAL!"

=====

Eyow. Met pagi, siang, sore, malam. Apa kabar? Pasti sehat, sksksskksks.
Emm, bagaimana dengan part ini? Krisar sama votenya selalu aku nanti loh. Pai-pai~~

----------∆TBC∆---------

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang