[]Part 22[]

311 49 3
                                    

Sebuah motor KLX oranye memasuki area parkiran. Pengendara motor itu segera mematikan mesin saat motornya sudah berhenti mulus di tempat yang kosong.

Ia masih menahan beban motornya saat ia merasakan sepasang tangan memegang bahunya guna membantu pemilik tangan itu turun.

Nathan, sang pengendara motor itu mulai membuka helm miliknya saat seseorang yang di boncengnya telah turun terlebih dahulu.

Nathan menyimpan helmnya pada kaca spion, setelahnya pemuda itu mengambil helm lain yang tersodor padanya. Menyimpan helm itu di spion yang satunya.

"Gue ke ruang guru dulu. Lo duluan," ucap Nathan seraya turun dari motornya.

"Siapa juga yang mau bereng lo. Wlee," ucap seorang gadis yang Nathan bonceng dengan juluran lidah di akhir kalimatnya. Siapa lagi kalau bukan Andara Reva?

"Siapa tau aja sih," balas Nathan. Tanpa menunggu jawaban dari Reva, pemuda itu mulai berjalan meninggalkan parkiran. Pergi menuju arah ruang guru.

Saat Reva hendak melangkahkan kakinya untuk pergi juga, sebuah panggilan menghentikannya.

Reva menengok sisi kirinya, melihat sesosok pemuda yang baru saja turun dari motor matic birunya. Dapat Reva lihat pemuda itu berjalan ke arahnya dengan senyuman cerah.

"Pagi," ucap orang itu.

"Pagi juga," balas Reva seraya mulai berjalan. Begitupun dengan sosok pemuda tadi. Mereka berjalan beriringan di sepanjang koridor guna menuju kelas masing-masing.

"Re, pulang sekolah mau lihat pameran lukisan gak?" tanya pemuda itu di tengah acara jalan mereka.

"Sama siapa?" tanya Reva.

"Sama gue. Berdua," balas pemuda itu  seraya memperlihatkan dua buah tiket pameran yang ia rogoh dari saku seragamnya.

Reva tampak menimang, ia bingung ingin menjawab seperti apa. Baru saja Reva ingin menjawab dan menolak ajakan pemuda itu, namun, bayangan tentang perbincangannya dengan Nathan semalam terputar di otaknya.

Mobil yang dikendarai Nathan melaju meninggalkan taman setelah menurunkan Elvin di sana.

Nathan melirik ke sebelahnya, melihat Reva yang yang tampak asik dengan ponselnya. Nathan berdeham pelan. "Re, lo beneran takut sama cowo?" tanyanya.

Reva yang tengah bertukar pesan dengan salah satu temannya menghentikan aksi mengetiknya. Dia menoleh ke arah Nathan yang tampak fokus ke arah jalanan. "Lo kira gue bohong?" tuturnya yang malah balik bertanya.

Nathan menghembuskan nafasnya kasar. Adiknya ini memang selalu sewot jika berbicara dengannya, padahal dia sedang bicara serius saat ini.

"Gak gitu juga, onta. Saran aja sih, coba lo jangan suuzon dulu sama cowo. Apalagi Elvin, dia cowo baik. Jangan bandingin dia sama si berengsek Alvaro itu," ucap Nathan.

Reva mematikan ponselnya dan memilih memangku ponsel itu. "Gue juga maunya gitu. Tapi yah, mau gimana lagi? Rasa takutnya dateng gitu aja. Lo gak tau sih rasanya."

"Cobain aja lo deket sama Elvin. Bukannya mau jodohin, yah. Jangan suuzon. Asal lo tau aja, gue itu abang lo, gue juga gak mau liat lo gampang takut sama cowok. Gue gak tau sih cara gue bener apa enggak. Tapi, lo coba buka diri lo, jangan terlalu menjauh. Gak semua cowo sama. Apalagi Elvin, gue kenal dia. Gue jamin dia gak akan macem-macem," ujar Nathan.

"Tumbenan lo bisa nasehatin gue, Nat? Abis makan apa lo?" tanya Reva yang malah merusak suasana.

Nathan mendengus. "Dibilangin juga. Ah, intinya gitu lah. Tapi inget juga jangan berlebihan. Kalau Elvin gue jamin dia baik, tapi kalau cowo lain lo harus kenalin juga sama gue. Biar gue tes dulu. Urusan ini gak boleh bantah. Titik," tutur Nathan.

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang