[]Part 35[]

292 34 1
                                    

Semua yang ada di ruang tamu terdiam saat satu kalimat keluar mulus dari mulut Mayang. Bahkan Reva yang tengah asik mengunyah keripik kentangnya juga menghentikan giginya dalam mengunyah.

Beberapa detik seperti itu, hingga akhirnya Kirana yang terlebih dahulu bereaksi. Wanita itu menatap Mayang dengan alis mengkerut. "Maksudnya gimana, May?"

Mayang tak langsung menjawab, dia merogoh tasnya dan mengambil sebuah kertas usang yang digulung. Setelah kertas itu ada di tangannya, Mayang menyodorkan kertas itu pada Kirana. "Kamu liat ini aja, Kir. Aku yakin kamu pasti kenal tulisan itu," ucapnya.

Kirana yang telah menerima kertas usang itu segera membukanya. Ia mulai membaca kata per kata yang tertera di kertas itu. Setelah selesai dia menyimpan kertas itu di atas meja. Selanjutnya Kirana bangkit dari duduknya, tersenyum lebar, lalu menepukan tangannya satu kali. "Sip! Ini emang beneran. Jadi, langkah selanjutnya apa?" ucapnya.

Suasana yang semula canggung, kini mulai menghangat karna reaksi Kirana. Wanita paruh baya itu sekarang sudah kembali duduk. Bersiap mendengar apa yang akan dikatakan oleh tamu-tamu di depannya ini.

"Sebelum itu, Nathan, kamu gak keberatan, kan?" tanya Mayang menatap Nathan penuh harap.

Nathan yang semula hanya diam dan bergulat dengan pikirannya, kini menarik bibirnya, membuat sebuah senyum kecil dan melemparkanya pada Mayang. "Kalau emang itu maunya Mama sama Papa aku, ya aku pasti terima kok, tan. Mungkin cuma ini kesempatan Nathan biar bisa bahagiain mereka," ucapnya.

Mayang dan Xandro tersenyum mendengar ucapan Nathan. "Tante tau kamu anak baik, Nat. Terima kasih," ucap Mayang yang diangguki Nathan.

"Woah, sebentar lagi ada nikahan, nih. Asik-asik banyak makanan."

Semua mata kini tertuju pada Reva yang barusan berujar. Gadis yang sedang mendekap setoples keripik itu kini tersenyum garing melihat tatapan aneh orang-orang di sekitarnya. Apa dia salah? "Awssh," ringisnya saat ia merasakan kakinya diinjak oleh sosok di sebelahnya. Kirana.

"Nikah matamu. Kejauhan itu, Reva," ucap Kirana.

Reva memanyunkan bibirnya, dia mengusap-usap kakinya yang sudah ia naikin ke atas kursi. Meskipun tak sakit-sakit amat, ah, bahkan sama sekali tak sakit, namun Reva tetap saja melalukan itu. Tangannya seperti bergerak sendiri. "Yamaap atuh Ratu. Mulutnya salah bicara," ucapnya yang hanya dibalas dengan dengusan Kirana.

Saat obrolan terus berlanjut, Nathan bangkit dari duduknya. Dia menetapkan pandangannya pada Vivi yang sedari tadi tampak diam memangku Erion yang tidur seraya menundukan kepalanya. "Vi, bisa ikut gue sebentar?" tanyanya.

Vivi mengangkat kepalanya dan menyorot Nathan. Dia mengangguk kecil dan segera bangkit dari duduknya. Sebelum pergi, ia menyerahkan Erion pada Mayang terlebih dahulu.

Vivi berjalan mengikuti Nathan yang sudah jalan terlebih dahulu. Biasanya ia akan menyusul Nathan dan berjalan disisinya seraya mengobrolkan sesuatu. Namun, kini rasanya agak tidak enak. Ia merasa canggung dengan lelaki itu, terlebih lagi ia juga merasa bersalah.

Halaman belakang. Ya, Nathan membawa Vivi ke halaman belakang rumah Kirana. Pemuda itu mendudukan dirinya di sebuah kursi yang terletak disana. Hal itu juga dilakukan oleh Vivi yang duduk di samping Nathan.

Sudah beberapa detik-- ah mungkin beberapa menit berlalu, Namun Nathan sama sekali belum membuka suaranya. Dia hanya diam seraya menatap ke depan. Hal ini tentu saja membuat Vivi gelisah. Ia meremas lututnya sendiri, mengumpulkan keberaniannya untuk bisa membuka suara. Padahal biasanya ia akan sangat lancar kalau berbicara, apalagi bersama Nathan. Dia bahkan bisa bercanda dengan lelaki itu.

"Nat, kenapa?" tanya Vivi yang akhirnya bisa memberanikan diri bertanya pada Nathan. Gadis itu juga dengan setengah berani menatap wajah Nathan dari samping.

Nathan balas melihat Vivi, membuat kedua orang itu kini saling berpandangan. Hanya sepersekian detik saja, karna Nathan segera memalingkan pandangannya lagi. "Oh, iya, maaf maaf gue kebanyakan mikir. Itu, apa namanya, em, lo gak keberatan sama ini, Vi? Secara lo kan berhak buat pilih pasangan lo sendiri, gak kayak gini," ucapnya.

Vivi menghela nafasnya, berharap rasa canggungnya akan hilang bersamaan dengan ia membuang nafasnya. Vivi kini menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, kepalanya kembali menyamping, memperhatikan Nathan yang sama sekali tak melihat ke arahnya. "Lo masuk pilihan gue, Nat," ucapnya.

Untuk sesaat, Nathan tersentak kaget, namun dengan segera ia kembali menetralkan rasa kagetnya itu. Dia kini balas memperhatikan Vivi yang masih memperhatikannya. "Maksud lo apa?" tanyanya.

Vivi melengkungkam senyumnya, dia kini mengalihkan pandangannya, memilih untuk menengadah dan memperhatikan langit di atasnya. "Asal lo tau, gue suka sama lo. Sejak dulu. Ya, pasti lo gak percaya, tapi mau gimana lagi? Itu perasaan gue apa adanya. Benar kata orang, kalau cowo cewe sahabatan, salah satunya pasti ada yang jatuh cinta."

Nathan terdiam. Ia paham, sangat paham apa yang diucapkan Vivi. Ia terkejut, sangat terkejut akan pengakuan dari sahabat kecilnya ini. Namun, Nathan tak memperlihatkan rasa terkejutnya itu, dia kini malah mengangguk-nganggukan kepalanya  singkat. "Oke oke, gue paham. Kalau gitu gak ada masalah, kan? Semoga kita baik-baik aja, yah. Gak nyangka lo yang bakalan jadi istri gue, Vi."

Vivi tak tersipu, sama sekali tidak, ia malah mengangkat tangannya dan memukul kepala Nathan. Bagaimana mau tersipu? Nathan saja bicara seperti itu dengan nada yang terdengar menyebalkan, tak manis sama sekali. "Istri istri, tunangan dulu, Nat," ucapnya.

Nathan tertawa, ia mengusap kepalanya yang kena pukul oknum Vivi. "Sama aja lo, Vi, sama Reva, doyan mukul kepala orang," ucap Nathan.

"Ya maaf, kelepasan. Emang sakit banget, yah? Mau gue obatin?" tawar Vivi.

"Gak usah gak usah. Udah biasa," balas Nathan.

Vivi mengangguk, gadis itu kemudian bangkit dari duduknya. "Oke, kalau gitu. Masuk lagi yuk, kita perlu tau kapan kita tunangan. Satu lagi, sorry udah rebut hak memilih lo. Gue harap lo gak nyesel atas ini, Nat," ucapnya.

Nathan tak menjawab, dia hanya tersenyum dan mengangguk kecil saja. Setelah itu, Nathan bangkit dari duduknya, berjalan beriringan dengan Vivi menuju ke ruang tamu. Dimana orang tua mereka pasti sedang bercengkrama.

"KAK LEPA BISA GAK SIH GAK USAH PEGANG-PEGANG LION?!"

Vivi dan Nathan saling berpandangan saat mereka baru saja tiba di ruang tamu dan langsung diserang oleh teriakan histeris milik Erion. Kemudian keduanya kini melirik ke arah pojok ruangan dimana disana ada Erion yang tengah berjongkok seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Beberapa meter di depan anak itu, ada Reva yang tengah berkacak pinggang dengan senyum creepynya.

Vivi menggeleng melihat kelakuan mereka berdua, bukan hal asing lagi bagi semua orang kala melihat Reva dan Erion yang seperti itu, karna, setiap kedua orang berbeda usia itu dipertemukan, maka, inilah yang akan terjadi. "Kebiasaan, kalau ketemu pasti ribut," gumam Vivi.

"Maklum, sama sama bocah," balas Nathan yang diangguki Vivi.

=====

Krisar sama vote sini.

----------TBC----------

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang