[]Part 33[]

278 32 0
                                    

Motor matic berwarna biru terlihat baru saja memasuki parkiran dan langsung berbaris dengan deretan motor-motor lainnya. Seseorang yang duduk di boncengan motor itu segera turun dari atas motor itu. Dia manarik helm yang membungkus kepalanya, kemudian menyerahkan helm itu pada sosok lelaki yang mengendarai motor.

Tepat setelah itu, motor lain memasuki parkiran dan berhenti tepat di samping motor matic biru itu. Sang pengendara mulai melepas helm yang ia kenakan, setelahnya dia menoleh pada sampingnya. "Yo, Pagi kalian," ucapnya seraya merapikan rambutnya.

Bukannya jawaban, yang ia dapat melainkan tarikan kasar pada tudung jaketnya yang memaksanya harus turun dari motornya. Setelah ia turun, bukannya dilepaskan, ia malah diseret dengan tak estetiknya oleh orang yang sama.

"Oy, o--"

"Re, kamu duluan aja. Aku mau bicara sama Nathan."

Sang pengendara motor yang masih diseret itu, memuramkan wajahnya saat ucapannya dipotong begitu saja oleh orang yang menyeretnya. "Hoi! Lepasin napa sih? Malu gue," ucapnya.

"Gak! Ikut gue sebentar, Nat," balas orang itu seraya melangkah semakin cepat, membuat Nathan yang masih ditarik juga mempercepat langkahnya.

Lapangan basket indoor. Ya, kedua orang itu kini telah sampai di lapangan basket indoor SMA Kebaktian. Orang yang menarik Nathan kini menghempaskan tubuh pemuda itu. Meski sudah terlepas, namun Nathan sama sekali tak mengerti dengan sikap dia yang terkesan kasar ini. Sungguh, ia tak tau apakah ia telah membuat kesalahan super hingga orang ini marah padanya. "Kenapa lo pindah? Apa itu karena ucapan gue, Nat?" ucap orang itu seraya menyorot Nathan dengan sorot yang tak bisa Nathan artikan. Itu seperti kesal (?) namun terlihat sendu juga. Ahh, lupakan saja arti sorotnya itu. Yang lebih penting adalah pembicaraan mereka.

Nathan merapikan letak tudung jaketnya yang berubah menjadi di depan, dia kemudian menyandarkan punggungnya pada tiang ring dan mengangkat kaki kanannya. Menekankan telapak kakinya pada tiang itu juga. Kedua tangannya masuk ke ke dalam saku celananya, kemudian dia menatap orang di depannya dan tersenyum kecil. "Tenang, gue pindah bukan karna itu doang kok, El. Gausah serius kayak gini juga nanggepinnya," ucapnya.

"Jadi bener karna ucapan gue?" tanya Elvin yang kali ini dengan tatapan yang menajam.

"Mungkin sedikit bener. Gue gak mau yah jadi masalah buat hubungan kalian. Lo baik, El, cocok banget buat Reva. Kalau lo berantem sama dia karna adanya gue, mana mau gue. Gimana pun, gue dukung banget hubungan kalian. Pokoknya, ini demi kalian dan demi gue juga. Jadi, stop berlebihan kayak gini, El," ucap Nathan.

"Demi lo juga?" beo Elvin pelan dengan satu alis yang terangkat.

"Iya, demi gue. Sebenernya gue disuruh belajar ngurusin perusahaan peninggalan bokap yang asalnya diurus sama asistennya. Gue bakal sampe malam belajar gituan, dan perusahaan itu deket sama rumah gue. Jadi, bukannya lebih baik kalau gue tinggal di rumah gue? Gue juga mau mandiri, El," balas Nathan.

Mendengar itu, Elvin mulai melunak, tatapannya yang sempat menajam kini kembali normal. Dia menunduk memperhatiakan sepatunya. "Gitu, yah? Sorry, gue kasar tadi," ucapnya.

Nathan menurunkan kakinya, dia juga kembali menegakkan tubuhnya, dia berjalan pelan mendekati pintu keluar, sebelum ia benar-benar menjauh, pemuda itu sempat menolehkan kepalanya ke belakang, tepat ke arah Elvin. Tersenyum kecil, kemudian berujar, "Gak apa-apa. Ayo kelas."

=====

Langkah kaki gadis berseragam dengan tas abu-abu yang bertengker di punggungnya dengan tiba-tiba harus terhenti tepat saat ia baru saja akan menaiki tangga dan melesat menuju kamarnya. Penyebabnya tak lain adalah panggilan dari orang tuanya. Dengan gerakan pelan, gadis itu menoleh ke belakang, ke arah orang tuanya. "Apa?" tanyanya.

Seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu gadis itu menjawab, "Mommy mau tanya. Tapi, gak enak banget kalau ngomong di bawah tangga begini. Ke ruang makan mau? Sekalian temenin Erion."

Gadis berseragam yang tak lain adalah sosok Vivi itu mengangguk, dia berbalik dan berjalan terlebih dahulu ke arah ruang makan. Menunda niatnya untuk merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur empuk yang sudah menantinya di atas sana.

Vivi mendudukan dirinya di samping kursi makan Erion, gadis itu melepaskan tasnya dan menyimpannya di atas meja makan. Mayang yang baru saja tiba terlihat duduk tepat di seberang Vivi.

"Kak Vi, suapin Lion dong," ucap Erion seraya menyodorkan sendok berukuran kecil ke arah Vivi.

Vivi menoleh pada adiknya, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke hadapan Erion, dimana banyak nasi dan lauknya yang berserakan disana, acak-acakan sekali.

Vivi meraih sendok itu, dia juga mengambil alih piring makan Erion yang semula ada di hadapan anak itu. Vivi mulai menyendokkan nasi dan menyodorkannya pada mulut Erion yang sudah terbuka lebar-lebar. Seraya terus melakukan itu, Vivi mulai angkat suara. "Jadi, mau tanya apa, Mom?" tanyanya.

Mayang yang tengah memperhatikan cara makan Erion, kini mengalihkan perhatiannya pada Vivi yang sama sekali tak menatapnya, gadis itu fokus pada Erion sekarang. "Soal Nathan dan perjodohan itu, kamu udah mutusin kapan mau buka semuanya? Kalian juga harus tunangan secepatnya. Sebelum Nathan tertarik sama orang di luar sana," ucap Mayang.

Gerakan Vivi yang menyendok nasi milik Erion seketika terhenti saat Mayang mulai bersuara, tatapannya mulai mengosong, sepertinya ia tengah berfikir sekarang.

"Kak Vi, makannnn."

Vivi mengedipkan matanya cepat saat ucapan Erion terlontar. Ah, ia sepertinya habis melamun tadi. Dengan hati-hati, Vivi mulai kembali menyuapi Erion. Gadis itu masih belum membalas ucapan dari ibunya. Hal ini membuat Mayang menghela nafasnya kasar, padahal ia tau apa yang diinginkan anaknya. Sangat tau. Tapi, tetap saja Mayang ingin mendengar langsung hal itu dari mulut Vivi.

"Vi---"

"Sabtu malam kayaknya aku siap, mom. Mommy bisa kabarin tante Kirana sekarang."

Mayang tersenyum, akhirnya saat-saat seperti ini tiba juga. Vivi telah membuat keputusannya, ah, sepertinya ini sama sekali bukan keputusannya. Ya, karna mau apapun keputusan Vivi, gadis itu tetap harus menjalankan perjodohan ini. Demi Mayang, demi Xandro, demi dirinya sendiri, dan demi Nathan.

"Makasih, sayang. Mommy seneng kamu gak berontak sama sekali. Persiapin diri kamu, yah. Kemungkinan pertunangan kalian gak akan lama lagi," ucap Mayang.

Vivi yang telah selesai menyuapkan suapan terakhir pada Erion menoleh pada ibunya. "Mom, mommy gak pernah berfikir kalau Nathan bakalan nolak ini?" tanyanya.

"Engga sama sekali. Mommy yakin Nathan gak bakalan nolak ini. Ini keinginan orang tuanya, anak itu pasti turutin. Karna mommy tau, dia anak yang baik," balas Mayang.

Vivi hanya mengangguk, dia mengedarkan tatapannya pada seisi ruangan, hingga tatapannya terfokus pada sebuah foto 3 orang anak kecil yang entah kenapa dipajang di ruang makan. Bibirnya tertarik ke atas, menciptakan sebuah senyuman yang sangat kecil. "Ya, semoga aja," gumamnya pelan.

=====

Ppiw, miskah. Gimana part ini? Ayo jawab, gak jawab aku nikahin loh. Canda. Emm, krisar+votenya, maniez!

----------TBC----------

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang