Liputan (1)

188 46 1
                                    

Minggu ini, klub koran sekolah baru saja mendapatkan bahan berita yang besar dan menggemparkan. Nimberland High School telah memenangkan sebuah kompetisi catur antar sekolah, padahal sepanjang sejarah sekolah itu—meskipun Nimber seringkali menggaungkan nama di kompetisi akademis dan non akademis—sekolah itu sama sekali tidak pernah menjuarai kompetisi catur mana pun.

Tidak sekali pun.

Tidak sebagai juara pertama.

Menyikapi berita ini, Chenle—yang baru-baru ini telah menggantikan posisi Junho sebagai ketua klub—sekarang memberikan tugas meliput profil sang pemenang itu pada Ryujin. Dan Ryujin—demi kelancaran kariernya di dunia jurnalistik sekolah—sesungguhnya pasti akan menerima tugas itu dengan riang gembira dan gegap gempita, kalau saja ia tiba-tiba amnesia dan tidak tahu siapa sebenarnya anak laki-laki yang harus diliputnya.

Jeno Lee.

"Chenle," ujar Ryujin panik. "KENAPA MESTI AKU!?"

Ryujin merasa seakan-akan langit akan runtuh persis di hadapannya. Dan sepertinya, mimpi terburuknya dalam kariernya di dunia jurnalisme baru saja dimulai. Ia tak pernah membayangkan kalau keputusannya untuk ikut klub koran sekolah pada akhirnya malah membawanya pada anak laki-laki itu lagi.

Anak laki-laki yang paling tidak ingin ditemuinya, sampai kapan pun.

"Naeun, Jacob, Sieun, Renjun, Heejin," lanjut Ryujin. "Chaeyoung, Yeri, Mingyu, Changmin, Somi, apa perlu kusebutkan semua anggota klub kita satu per satu? Ayolah. Pokoknya jangan aku."

Chenle menggeleng.

"Kau tahu sendiri gadis-gadis itu, Ryujin. Mereka gila," kata Chenle. "Aku tidak tahu siapa lagi reporter yang bisa diandalkan. Cuma kau yang masih waras. Mereka terlalu tergila-gila pada Jeno. Mereka bisa merusak artikelku!"

Pada kenyataannya, Chenle memang benar. Para anggota klub lainnya yang biasa menjadi reporter—yang kebanyakan adalah anak-anak perempuan—mereka semua tergila-gila pada Jeno. Kelakuan gadis-gadis itu pun mulai menggila sejak Jeno menjadi semakin populer dengan kecerdasannya. Kegilaan itu memang tidak separah histeria Jeno-holic yang selalu dikumandangkan The Lady Witches setiap jam makan siang, tetapi sudah cukup memuakkan untuk membuat Ryujin sampai ingin berenang ke Kutub Utara. Tak ada satupun yang bisa menjamin apakah mereka bisa bersikap normal saat mewawancarai Jeno dan apakah mereka akan berhasil mendapatkan profilnya dengan baik dan benar.

Kemungkinan yang paling besar terjadi adalah mereka justru akan menghabiskan seluruh waktu wawancara untuk mengagumi dan menempel-nempel dengan anak laki-laki itu.

"Daehwi? Jinyoung? Yohan? Junho?" Ryujin masih mencari cara untuk menghindar dari tugas itu. "Mereka kan bisa. Yang penting jangan aku. Pleasee."

Chenle menghela napasnya.

"Daehwi dan Jinyoung sakit. Yohan ke China. Dan Junho kan sudah meliput acara kompetisi itu denganku kemarin," ujar Chenle. "Kau tidak punya pilihan lain, Ryujin."

Ryujin memicingkan matanya, memandang Chenle dengan sangsi. "Hyunjae? Younghoon? Johnny? Mashiho?"

"Mereka kan murid kelas dua belas, Ryujin," kata Chenle. "Mereka sudah tidak ikut kegiatan klub lagi. Bukannya kau sudah tahu hal itu?"

Ryujin pura-pura tidak mendengar. Biar bagaimanapun, ia tetap bersikukuh menyebutkan nama-nama anggota kelas dua belas yang lain. "Nayoung? Asahi? Yedam?"

"Kau ini benar-benar keras kepala, ya!" timpal Chenle. "Bagaimanapun caranya, pokoknya artikel ini harus selesai dengan sempurna akhir minggu ini. Aku tak mau gadis-gadis gila itu menghancurkan artikelku. Dan aku juga tak mau kau—dengan segala alasanmu yang tidak masuk akal itu—merusak semua yang sudah kupersiapkan untuk koran sekolah edisi minggu depan."

Ryujin merengut.

"Lagipula, kenapa pula kau menolak meliput Jeno?" tanya Chenle. "Aku sempat mengira kalau kau adalah satu-satunya yang masih normal. Semua anak perempuan berebutan ingin mewawancarai anak laki-laki itu, tapi hanya kau yang menolaknya. Kalau kupikir-pikir lagi, kau ini sebenarnya tidak normal juga."

"Aku? Tentu saja aku normal," tukas Ryujin. "Aku hanya tak sama dengan gadis-gadis itu. Dan aku tak mau disama-samakan dengan mereka."

Ryujin menjadi penasaran, apakah julukan The Unbeatable sudah cukup terkenal di telinga Chenle. Setidaknya itu akan memberinya sedikit bantuan argumentasi untuk membela diri. Biar bagaimana pun, Ryujin tidak ingin Chenle berpikir yang tidak-tidak tentangnya, terutama karena ia—tentu saja—tidak merasakan perasaan yang sama dengan dirasakan gadis-gadis itu. Tanpa alasan yang jelas, ia memendam perasaan tidak suka yang amat sangat pada anak laki-laki itu. Dan Ryujin tidak ingin hal itu diketahui oleh siapapun.

Perasaan aneh yang tidak nyaman itu, siapa yang bisa mengerti? Pikir Ryujin.

"Dengar," kata Ryujin. "Aku tak menyukai dia—Jeno. Aku merasa dia itu orang yang agak angkuh—kau tahu? Yaa, karena ia merasa dirinya tampan, pintar, hebat, dan sebagainya. Aku tak suka orang sombong semacam itu. Ia pikir seluruh gadis tergila-gila padanya. Tapi tentu saja, itu bukan aku."

Chenle menepuk pundak Ryujin sambil tersenyum senang.

"Sempurna! Kau netral, bahkan kau positif membelakangi dia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana lezatnya tulisan kita nanti," kata Chenle. "Kalau begitu, kau saja yang mewawancarai dia, ya."

Bukan reaksi seperti ini yang Ryujin harapkan. Ia benar-benar sudah salah bicara. Ia berusaha untuk memperbaiki kata-katanya.

"TAPI—"

"Aku tidak menerima kata tidak," potong Chenle. "Pokoknya akhir minggu ini, laporan itu harus sudah ada di mejaku."

"CHENLE," kata Ryujin.

"Yang harus kau tanyakan adalah profil hidupnya—tanggal lahir, hobi, dan semacamnya," lanjut Chenle. "Dan kemudian yang tak kalah pentingnya adalah kau tanyakan bagaimana awal mula ia menekuni catur dan bagaimana ia memenangkan kompetisi catur itu—mulai dari usahanya, dukungan keluarga dan kerabatnya, dan perasaannya."

Chenle sama sekali tidak mempedulikan ekspresi kebakaran jenggot dari wajah gadis yang ada di hadapannya itu.

"Yaa, kau tahulah itu, Ryujin. Kau kan sudah pernah meliput profil kepala sekolah kemarin. Nah, kalau berhasil, kau akan kuangkat sebagai editor junior. Oke?"

Ryujin menelan ludah. Tawaran itu terdengar begitu menggiurkan, terutama bagi seorang junior kelas 10 seperti dirinya. Namun, baginya kebahagiaan jiwanya saat ini masih jauh lebih penting. "Chenle, aku tidak ma—"

"Daagh."

Chenle berlalu meninggalkan Ryujin yang masih melongo kebingungan. Sedari awal ia memang sudah memastikan bahwa Ryujin-lah yang akan meliput Jeno, tidak peduli apakah orang yang bersangkutan bersedia menerimanya atau tidak.

Tak ada cara lagi untuk mengelak. Ryujin menarik napas panjang, menyiapkan jiwanya untuk ujian mental yang berikutnya.

Yang ia tahu, ia benar-benar sebal pada Chenle hari ini.

RYUJIN & FRENCH CLASSWhere stories live. Discover now