Sang Pangeran (3)

232 50 3
                                    

Pada kesempatan berikutnya, Ryujin sudah tidak pernah bisa berpapasan dengan Jeno lagi. Bukan kebetulan yang aneh, karena kejadian itu pun bukan suatu kebetulan.

Jika Ryujin melihat Jeno dari kejauhan, praktis seluruh anggota tubuhnya membimbingnya untuk berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan. Dengan demikian, Ryujin tidak pernah lagi melihat Jeno dari jarak dekat-kecuali hanya selama satu atau dua detik dalam sebuah kecelakaan yang tidak disengaja, sebelum akhirnya dia sadar kalau ada Jeno sedang berada di sekitarnya.

Dan tentu saja, dengan berbagai macam alasan brilian yang muncul di otaknya saat itu, ia akan segera pergi menjauh. Sejauh-jauhnya.

Kafetaria adalah perangkap kematian untuknya. Jam makan siang menjadi saat-saat yang paling tidak ditunggu-tunggunya sekarang, karena setiap jam makan siang para The Lady Witches akan memesan kursi paling awal dan keluar dari kafetaria paling akhir, menghabiskan makanan dengan selambat-lambatnya agar bisa memakai tempat itu selama mungkin-setiap hari. Sebenarnya tujuan mereka itu hanya satu.
Mereka menanti selama itu karena ingin melihat Jeno di kafetaria lalu menghabiskan sepanjang sisa jam makan siang itu untuk membicarakan, mengamati, dan mengagumi anak laki-laki itu.

Rutinitas seperti ini sangat menjengkelkan bagi Ryujin. Mereka saling berebut posisi duduk paling strategis yang paling enak untuk memandang Jeno. Kebalikannya, Ryujin akan selalu memilih yang paling tidak tercapai Jeno. Kalau bisa ia ingin tempat duduk yang paling pojok yang menempel ke samping dinding yang membentuk sudut 90 derajat dengan dinding lain yang berada di hadapannya. Pokoknya jangan sampai menghadap pintu masuk kafetaria, dan sedapat mungkin berada pada posisi yang selalu memunggungi Jeno.

Ryujin tak selalu beruntung. Untuk sebagian besar kesempatan, ia memang selalu dapat posisi duduk yang paling bagus, sehingga matanya tak pernah menjangkau Jeno. Tapi tak jarang juga ia bernasib apes. Jeno duduk satu meja di depannya, di belakangnya, di samping kiri atau kanannya, bahkan pernah lebih apes lagi-Jeno duduk tepat di sebelahnya-dalam meja yang berbeda.

Ia tak pernah menghabiskan makanannya jika ia mendapatkan posisi sial seperti ini. Bulu kuduknya merinding, otot-ototnya kram.

Ryujin tak mengerti mengapa ia merasakan perasaan yang aneh tersebut. Ia tak yakin apakah ia menyukai anak itu, sebab-berkebalikan dengan teman-temannya yang selalu meronta-ronta bahagia setiap kali bertemu dengan Jeno-entah mengapa berada dekat-dekat Jeno membuat perasaannya menjadi sangat tidak nyaman.

Alih-alih membuat pingsan atau histeris seperti yang dirasakan gadis-gadis lain, keberadaan Jeno di sekitarnya justru hanya membuatnya merasa stress tanpa alasan. Rasanya seperti ada aura negatif jahat yang menyelubunginya, mencengkram tubuhnya, dan mengikatnya dengan siksaan-siksaan batin tanpa akhir.

Ryujin tidak pernah mengatakannya pada siapa pun-semua hal tentang Jeno dan tetek bengek remeh lainnya yang ia rasakan. Apalagi ke para gadis The Lady Witches. Ia akui, ia memang tolol, tapi setidaknya ia tidak cukup tolol untuk melakukan aksi bunuh diri dengan cara membocorkan rahasia tersebut. Mereka pasti ngamuk-ngamuk kalau mereka menemukan kalau Ryujin telah menjatuhkan citra pangeran tampan sempurna pujaan mereka.

Tidak.

Ini sama dengan bunuh diri, pikirnya.

Tapi, meskipun begitu, Ryujin tidak pernah habis pikir mengapa gadis-gadis ini tidak pernah berani untuk melakukan aksi nyata untuk menyatakan perasaan cinta pada Jeno. Tidak satupun dari mereka yang melakukannya-bahkan tidak juga Shuhua. Meskipun mereka suka membicarakan anak laki-laki ini sepanjang hari, tapi Ryujin menduga kalau sepertinya rasa suka itu hanya sampai batas kekaguman saja. Mereka tak jarang juga membicarakan anak laki-laki lain di Nimberland.

Meskipun, tentu saja tidak ada topik yang lebih sering dibicarakan daripada Jeno Lee.

Dan dari kelima gadis itu, mungkin yang paling obsesif adalah Shuhua. Ia lebih sering melakukan pendekatan-pendekatan langsung pada Jeno-sementara yang lainnya tidak pernah sama sekali-hanya saja, sepertinya Jeno tipe laki-laki yang pendiam dan tertutup, sehingga sulit bagi Shuhua untuk menembus pertahanannya. Meskipun demikian, Shuhua tidak pernah kehilangan semangat untuk tetap mendekati Jeno. Ia percaya, suatu saat nanti Jeno pasti akan bertekuk lutut padanya.

Jika teringat pada itu, Ryujin sering tertawa sendiri. Ia merasa Jeno sedikit banyak mirip dengannya, dalam hal pertahanan dan daya tariknya yang membuat lawan jenisnya terus-menerus mendekatinya. Kalau Jeno sih, Ryujin masih memaklumi dan mengerti mengapa hal tersebut bisa terjadi, sebab Jeno itu tampan luar biasa, dan juga pintar. Wajar saja ia menjadi lebih pemilih dan banyak gadis yang mengantri untuk jadi pacarnya.

Shuhua Yeh juga bernasib sama. Banyak anak laki-laki yang berbondong-bondong ingin jadi pacarnya, sementara Shuhua tak pernah menerima mereka, karena satu-satunya yang paling ia inginkan sebagai pacar adalah Jeno Lee.

Akhirnya, Ryujin justru tak mengerti mengapa ia bisa disejajarkan dengan mereka berdua. Padahal, dari segi fisik ia menyadari kalau penampilannya sama sekali tidak menarik, apalagi dari segi intelektual-semua orang sudah tahu bagian paling memalukan dari keterbatasan otaknya. Ryujin-dan Yeji-pernah membuat sebuah hipotesa. Mungkin semua laki-laki di dunia yang pernah menyukainya telah terkena radiasi matahari yang merusak beberapa sel syaraf otak mereka. Akibatnya, mereka jadi tidak bisa membedakan yang mana gadis yang mengagumkan dan yang mana yang tak punya nilai pesona-alias Ryujin.

Tentu saja ini adalah pengecualian untuk Jeno dan Shuhua. Tak perlu sinar radiasi kosmik untuk membuat orang-orang di sekitar mereka menyadari betapa menawannya mereka. Mereka berdua adalah pasangan yang sempurna. Shuhua Yeh secantik bidadari dan Jeno Lee-harus diakuinya-benar-benar tampan. Hanya masalah waktu saja sampai akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai.

Ryujin sendiri merestui perjodohan itu, karena biar bagaimana pun, mereka sangat cocok jika bersama-sama. Kalau mereka menikah dan punya anak, pasti anaknya akan terlihat luar biasa sempurna seperti ayah dan ibunya.

Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal pikirannya.

Ia alergi pada Jeno.

Kalau Shuhua berpacaran dengan Jeno, bisa-bisa Ryujin jadi harus sering bertemu dengan anak laki-laki itu saat Shuhua mengajaknya berkenalan dengan geng The Lady Witches mereka. Apalagi, gadis itu paling tahu bagaimana cara mendramatisir kehidupannya seperti adegan telenovela. Gadis itu akan menempel dengan anak laki-laki ini sepanjang hari dan membicarakannya sepanjang waktu, dengan intensitas yang semakin menjadi-jadi.

Padahal-seperti yang diyakini Ryujin sekarang, pertemuan dengan Jeno dan pembicaraan tentang Jeno adalah hal-hal yang sangat ingin dihindarinya. Ia benar-benar tidak bisa dekat-dekat dengan laki-laki itu. Melihatnya dari kejauhan saja sudah membuatnya seperti mau mati. Apalagi kalau harus bertatap muka setiap hari.

Tapi-berhubung hal itu masih belum terjadi-Ryujin tidak mau ambil pusing. Hidupnya terlalu berharga untuk memusingkan hal-hal remeh semacam itu. Baginya, jauh lebih seru memikirkan bagaimana ia akan menikmati hari-harinya di Nimber hari-hari ini, karena semakin lama aktivitas-aktivitas di sekolah terasa semakin menyenangkan.

Ia sudah tidak sabar lagi ingin segera bergabung dengan klub sekolah favoritnya.

RYUJIN & FRENCH CLASSWhere stories live. Discover now