21

149 22 0
                                    

"Apa bertemu dengan Taehyung bisa membuat hatimu tenang?" Jimin mendongak menatap Hera dengan senyum tipisnya.

Apa benar senyuman itu tulus? Hera semakin getir dalam situasi ini. Memahami orang memang menjadi hal tersulit. Apa yang akan dilakukanya, bahkan Hera akui ia juga gagal memahami diri sendiri. Mendengar pertanyaan barusan dari Jimin mampu juga membekukan aliran darahnya, serasa dingin dan menggigil didalam sana.

Hera memegang kedua tangan Jimin, "Aku hanya menyampaikan rasa terimakasih yang benar padanya." jelasnya baik-baik.

"Aku memang berlebihan ya?" kekeh Jimin. Barangkali menyembunyikan rasa sakit.

"Tidak perlu membuatnya semakin panjang." ujar lembut Hera.

Jimin menumpu wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Memandang Hera yang sedang menyesap jus jeruk. "Sesuka itu ya?" tanya Jimin

Terkekeh singkat, Hera menyodorkan jus jeruknya untuk Jimin. Namun Jimin menolak. "Memangnya ada yang aneh? bahkan aku belum menghabiskan tiga gelas tuh."

Jimin memutar bola matanya. Menarik nafas dalam, "Dari dulu kau tidak suka jeruk. Bukannya ini pertama kalinya kau minum jus jeruk?"

Hera tersenyum. Kedua tangannya memegang erat gelas tersebut. "Anakku menyukainya. Aku harus menjadi ibu yang baik bukan? Jika anakku menginginkan hal yang tidak ku sukai aku akan tetap menurutinya." jelasnya.

Jimin sesaat diam.

Ia menunduk singkat sebelum nenanggapi kalimat Hera. "Jangan menuruti semua kemauannya. Dia harus tumbuh menjadi anak yang mandiri."

"Jimin-aah anakku ini masih punya aku sebagai ibunya. Kasih sayangku sangat berarti buatnya. aku akan mengajari bagaimana menjadi anak yang mandiri, kau tenang saja." jelasnya lalu kembali menyesap jus jeruknya hingga habis.

Jimin meringis, "Terkadang mengambil keputusan dengan akal sehat pun masih kalah dengan hati yang mendominasi."

"Kau benar Jim. Menuruti hati memang menjadi pilihan yang utama pada manusia."

Hera menatap dalam iris Jimin. Ia menyadari matanya yang basah karena air mata yang berlinang. Buru-buru tangannya mengusap kasar pipinya. "Kenapa Jim, apa kau merasa kesulitan?"

Jimin menggela nafas, "Ya aku kesulitan mengantar dirimu pulang." suara Jimin teramat pelan.

Hening, mata mereka saling menatap. Menyembunyikan rasa sedih yang berusaha mereka lawan.

"Kalau begitu jangan repot-repot mengantarku pulang. Aku akan pulang sendiri." suara Hera penuh keyakinan. Tatapannya masih tak berpaling dari Jimin.

"Aku akan tetap mengantarmu, itu sudah menjadi kewajiban seorang suami. Menjemput lalu mengantar pulang dengan selamat." jawab Jimin, rahangnya terlihat makin mengeras.

Hera memilih tidak menanggapi. Beberapa sekon hening tercipta hingga Hera memutuskan untuk bangkit dari duduknya.

"Sekarang?" tanya Jimin.

Hera mengangguk. "Langitnya rada mendung, akan merepotkan dirimu jika kita kehujanan di tengah jalan. Lagian Yena sudah menunggu lama di mobil kan."

"Apa tidak ada akhir yang manis?" ujar lirih Jimin yang menunduk.

Hera terkekeh. Ia mengajak tumitnya berhenti tepat di depan Jimin. Mendongak sedikit ke atas. "Seperti ini kah?" ucapnya setelah melingkarkan kedua tangannya ke perut Jimin.

Jimin diam, ia merasakan kehangatan dari pelukan Hera. Merambat ke seluruh kulitnya. Rasanya begitu nyaman. Tangannya membalas pelukan Hera. Menarik tubuh Hera untuk lebih merapat, hingga kepala Hera kini bersandar apik di dada Jimin. Rasa tak mau kehilangan bercampur aduk di kepala mereka. "Hera...." panggil lirih Jimin.

Destruction of Life [M]Where stories live. Discover now