19

136 22 3
                                    

"Hera." Teriak Jimin tatkala membuka pintu rumahnya, ia mulai panik melihat keadaan rumah yang hening. Tidak ada siapapun yang menyambutnya, kakinya buru-buru menaiki tangga sembari melonggarkan dasi yang mencekiknya sejak pagi. Langkahnya terhenti saat suara perempuan lain menyeruak di pendengarannya,

"Oppa." ucap Yena membuat pandangan Jimin mengarah pada tubuhnya yang berdiri di ambang pintu kamar tamu.

"Dimana Hera?" tanya Jimin.

Yena tersenyum tipis, "Eonnie ada di kamar. Apa rasa rindu pada istri seperti itu ya...." kekeh Yena yang tak ada balasan apapun dari Jimin. Ia hanya bisa melihat bayangan Jimin yang semakin menghilang. Berusaha mengabaikan semuanya toh ini tidak ada urusannya dengan Yena, ia memilih kembali masuk ke kamarnya.

Yena tersenyum, Terlihat dari kecemasannya. Aku harap hubungan mereka baik-baik saja.

.

.

.

Jimin bernafas lega, memandang Hera yang sedang duduk merias diri. Tumitnya perlahan mendekati posisi Hera sebelum ia melemparkan tas kerjanya pada sofa panjang yang berada di kamarnya. Berhenti tepat di belakang Hera, kedua tangannya kini ia masukkan pada saku celana. Pandangan matanya tertuju pada cermin yang memperlihatkan paras cantik istrinya dan dirinya yang kusut. Jimin mendadak tersenyum menatap iris Hera yang terlihat pada cermin tersebut, "Sangat cantik He, aku rasanya semakin sulit mengakhiri semuanya." tersenyum hambar.

Hera sejenak menghentikan aktivitas tangannya yang sedari tadi sedang menyisir rambut panjangnya. "Jangan seperti itu. Apa kau tak malu dengan cerminnya?" Kekeh Hera membalas tatapan Jimin yang terlihat di cermin bening tersebut.

Beberapa sekon diam tercipta- senyuman terukir di bibir tebal milik Jimin. "Aku kira kau akan mengabaikan balasan pesan dariku dan tetap pergi hari ini juga."

Meletakkan sisirnya pada meja rias, Hera menghembuskan nafas sembari membentuk lengkungan lembut di bibirnya. "Jadi kau mencemaskan kepergianku. Mana mungkin aku meninggalkan rumah ini tanpa persetujuanmu. Dari dulu kau yang memutuskan semuanya lalu aku akan mematuhi semua perintahmu."

"Nyatanya kau bisa mengelabuiku He, diam-diam keluar dari lingkaranku." elak Jimin berusaha mengingatkan Hera.

Hera bangkit dari duduknya lalu menggeser sedikit kursinya ke belakang. Memutar tubuhnya untuk menghadap tepat di depan Jimin, sejenak menatap kedua mata Jimin. "Kau menyindirku tentang yang mana? Bercinta dengan Taehyung yang nyatanya sudah menjadi rencanamu atau karena bekerja menjadi anjing Seokjin?" kekeh Hera, ia lalu memutar tubuhnya, hanya ingin menyiapkan air hangat untuk suaminya. Namun niatnya terhentikan saat tangannya di tarik pelan oleh Jimin dari belakang.

"Kenapa lagi?" tanya Hera.

Jimin melangkah lebih dekat, "Hanya meminta jatah pelukan dari istriku."

Hera tercekat. Perlahan tatapannya jatuh pada dada bidang Jimin, pandangannya semakin sayu. Kalimat barusan mampu menggertak hatinya. Semua semakin sulit karena tingkah Jimin sendiri, semakin banyak kalimat dari bibir Jimin yang diterimanya, semakin bimbang pula akan keputusannya untuk meninggalkan Jimin. Semua menjadi rancu dan merombak didalam pikirannya. Tidak, Hera harus memegang kuat keputusan yang terbaik untuk hubungan mereka.

Berusaha menyembunyikan tubuhnya yang gemetar, sesaat Hera memejamkan matanya. Menahan nafas lalu menghembuskannya pelan. "Kau masih bebas memelukku, lakukanlah." bibirnya tertarik hingga membentuk senyuman manis menghiasi wajahnya.

Jimin ambruk meraih tubuh istrinya, memeluk erat dengan tujuan bisa sedikit menghilangkan rasa pening. Kepalanya ia letakkan pada perpotongan leher Hera, menghirup pelan aroma istrinya yang mungkin beberapa hari lagi tidak akan bisa menemani disepanjang harinya. "He kau bisa tinggalkan parfummu di rumah ini. Itu akan memudahkanku jika aku meridukan aroma tubuhmu." canda Jimin, berusaha meloloskan rasa sakit yang sedari tadi mencekat kerongkongannya.

Destruction of Life [M]Onde histórias criam vida. Descubra agora