05

318 109 89
                                    

Warning mature!!

.

.

.


Hera berusaha menghentikan lamunan yang sedari tadi memenuhi kapasitas otaknya, semua seakan berbaris rapi di otaknya. Beberapa seperti sedang berpidato didalam otaknya hanya untuk mencari perihal jawaban dari semua pertanyaan menarik yang memenuhi pikirannya. Setelah berbicara dengan ibu mertuanya, ia sekarang berada di kolam luas. Memilih merasakan air yang membasahi sebagain kedua kakinya-- ya karena posisi kedua kakinya yang sengaja ia tenggelamkan didalam air sembari duduk di pinggiran kolam.

Pandangannya tertuju pada genangan air yang begitu tenang. Sesekali mendongak keatas-- memejamkan mata lalu menghembuskan nafasnya, barangkali menemukan jalan terang atau jawaban untuk semua masalahnya. Sayang gagal, semua serasa begitu sulit. Hera menarik bibirnya saat menemukan sebuah bayangan seseorang yang berdiri. Hanya bayangan di dalam air saja bisa ia tebak cepat jika itu tubuh Jimin. Ia tersenyum singkat.

"Menyingkirlah, bayanganmu membuat airnya tercemar Jim." ucapnya tanpa memastikan dulu siapa  yang datang. Memang hatinya sudah seyakin itu menganggap bayangan itu milik Jimin.

Tanpa jawaban, bayangan itu mengikuti gerak tubuh yang sebenarnya-- berjalan semakin mendekati Hera hingga berakhir ikut bergabung bersamanya, duduk disamping Hera. "Sedang apa?" tanya Jimin.

"Haruskah aku menjawab? Kau sudah melihatku sendiri." memutar kedua bola matanya.

Jimin tersenyum, barangkali menutupi rasa kesalnya akan jawaban sinis dari istrinya. "Apa ibu mengatakan sesuatu?"

"Biasa, hanya obrolan mertua dengan memantunya."

"Hal biasa yang keluar dari mulut mertua tidak akan membuat memantunya bungkam seperti ini He." ujar Jimin sambil memandang wajah istrinya yang murung. "Kau tau He betapa petingnya ibu bagiku, ku harap kau mengerti itu."

Egois yang seperti ini memang membuat beberapa hati harus siap tergores. Hera akui ucapan lancar tadi mulut Jimin barusan membuatnya menyadari sesuatu, harga istri bagi Jimin memang tidak setinggi rasa sayangnya untuk ibu tirinya itu. Ah, Hera merasa iri saja. Seandainya ibunya masih ada, tentunya ia juga mengatakan kalimat tegas seperti yang dikataka Jimin tadi. Ia juga ingin membuat hati Jimin sama tertekannya seperti hatinya saat ini.

Ia tersenyum hambar menatap manik Jimin. "Apa kau tidak ingin tahu apa yang dikatakan ibu mertua?" masih menatap kedua mata Jimin.

"Katakan....."

"Kau tidak akan mengabulkannya." ucap Hera mengeluarkan smriknya. "Semua yang diinginkan seorang Ibu ketika anaknya sudah menikah, hanya satu Jim-- menggendong cucunya." jelas Hera. Ia bisa menangkap pandangan Jimin yang mulai kosong hanya karena sebuah kalimat yang di ucapkannya. Rasanya ia ingin tertawa keras untuk suasana ini.

"Tidak untuk saat ini!" jawab tegas Jimin, tangannya menekan kuat pinggiran kolam. Beruntung itu bukan benda keras yang mudah patah, sebab remasan tangan Jimin benar-benar penuh tenaga.

Hera tersenyum getir-- sengaja mengabaikan reaksi Jimin. Jujur saja ia sempat melirik dan melihat remasan tangan Jimin itu. Hera mengajak seluruh tubuhnya untuk menghampiri dinginnya air kolam, berjalan di dalam air hingga berada di bagian tengah-tengah kolam. Sengaja ia lakukan guna untuk memancing Jimin agar ikut bersamanya. Melihat Jimin yang masih anteng dengan posisinya, membuatnya ingin cepat-cepat menarik tubuh Jimin saja.

Destruction of Life [M]Where stories live. Discover now