03

335 126 152
                                    

Mari sederhanakan, hanya memiliki dua pilihan. Dua jalan yang bisa Jimin pilih. Memilih melarikam diri dari rasa sakit itu atau menghadapinya dan menjalaninya. Ya, tentu Jimin akan memilih pilihan yang kedua. Akan sia-sia jika ia berbelok di jalan yang sudah ia telusuri selama ini. Seperti janjinya untuk dirinya sendiri, ia akan kembali bersama kehidupannya dulu setelah berhasil menangkap iblis yang sebenarnya.

Jimin mengacak rambutnya frustasi, menghembuskan nafas lalu mendudukkan diri di sofa. Tubuhnya sangat lemas karena telah ia kuras energinya bersama setumpuk berkas di kantor sehari ini, wajah kusutnya membuatnya begitu menyedihkan. Belum lagi penampilan yang berantakan. Memejamkan matanya, mencoba mengosongkan beberapa pikirannya. Ia juga berhak menghirup udara tanpa harus ada rasa yang mencekiknya. Atau mungkin keadaan gelap ini yang membuatnya merasa sesak? Sebab lampu ruang tamunya saat ini tidak menyala.

Suara langkah dari tangga begitu menggema menyingkirkan keheningan. Jimin masih memejamkan matanya bersama rasa nyaman karena empuknya punggung sofa yang ia sandari. Ya, Jimin bahkan bisa menghirup wangi perempuan yang berusaha mendekatinya saat ini.

"Kau sudah pulang rupanya." Hera membantu melepaskan jas kerja Jimin, melonggarkan dasi yang mencekik leher lelakinya sejak tadi pagi. "Biar ku nyalakan dulu lampunya."

Niat Hera harus terhenti saat Jimin menarik tangannya. Menyuruhnya untuk kembali duduk disampingnya. "Tidak usah He, biarkan gelap seperti ini."

"Kenapa?" sial, Hera sulit melihat wajah Jimin saat ini.

Memposisikan tubuh Hera agar menatap kearahnya. Mencoba menatap wajah Hera bersama cahaya remang-remang. Cih, ia juga sulit melihat paras cantik Perempuannya. Lalu kenapa masih memilih gelap seperti ini? Benar-benar aneh. Ia masih diam, membiarkan Hera menatapnya penasaran bersama gelapnya ruangan saat ini.

"Jim jangan seperti ini, gelap nih" kesal Hera

"Begini lebih baik He, aku tidak mau kau melihat wajahku yang kusut ini" jawabnya santai, mengangkat sedikit bahunya keatas yang pastinya tidak diketahui oleh Hera.

"Ck! Jangan bilang kau habis menangis." Hera berusaha menahan tawanya. "Cepas bersihkan dirimu. Aku akan menyiapkan makan malamnya." ucapnya sebelum bangkit meninggalkan Jimin yang masih diam bersama kegelapan.

Jimin hanya bisa mendengarkan langkah perempuannya yang semakin menjauh dan menghilang. Bayangan tubuh Hera yang semakin mengecil lalu hilang dari penglihatannya. Ah ia merasa kapasitas otaknya sudah penuh, semakin sulit saja mencerna pikiran yang lainnya. Ia mengakui hati dan otaknya bukan lagi se-team, misi yang awalnya ia setujui bersama seluruh raganya seakan mendapat penolakan dari hatinya sendiri. Haruskah ia menggagalkan semua ini. Disisi lain Jimin harus menjaga nama mendiang ayahnya, tetapi ia juga harus tahu siapa dalang dari masalah yang sudah ia gelidah selama dua tahun ini.

Ya benar- Baek Hyuk Soo telah meninggal dua tahun lalu, meninggalkan kedua putranya yang dulu selalu di banggakan, meninggalkan istrinya yang dulu sangat di cintai. Tentu saja semua rasa itu masih melekat di hati Hyuk Soo bersama arwahnya di atas sana. Kematian yang masih belum di terima oleh Jimin, sebab ia tahu beberapa orang ingin menjatuhkan keluarganya. Jimin yakin jika kematian ayahnya sudah dirancang sebegitu detailnya oleh musuh dibelakang sana. Hanya saja Jimin belum mengetahui betul siapa pelaku yang sebenarnya. Satu sasaran yang menjadikannya masih ingin bertahan bersama Hera, membuat perempuan itu mengatakan yang sebenarnya. Karena Hera menyaksikan bagaimana sekarat ayahnya saat itu.

Ia bangkit dari sofa yang menampung tubuh lemasnya tadi, kemudian berjalan ke kamar untuk membersihkan diri agar bisa makan bersama Hera.

....

"Bisa kau suapi aku He? Beneran tanganku pegal sekali rasanya, atau di pijit dulu kali sama kamu."

Plak, satu tamparan dari halusnya tangan Hera berhasil mendarat dilengan Jimin, "Yak kau bilang tanganmu pegal tapi malah sibuk bermaim game, ngomong saja kalo gak rela meninggalkan gamenya." kesalnya. "Ya udah biarin cacing di perutmu berteriak, bodoamat." memutar kedua bola matanya. Hera melanjutkan kembali untuk menyuapi mulutnya sendiri, mengabaikan orang yang duduk dihadapannya, ya Jimin yang malah sibuk akan sebuah game diponselnya. Mengabaikan makan malam yang sudah dibuat oleh istrinya dengan penuh rasa sayang.

Destruction of Life [M]Where stories live. Discover now