Should It Be a Happy Ending?

676 81 68
                                    


          Apabila mempertimbangan ledakan rasa rindu yang meletup-letup dalam dadaku saat melihat Cassio di negeri orang, seharusnya aku berlari menebas arah angin yang berlawanan denganku, dan memberi tubuh tinggi atletisnya sebuah pelukan beruang tanpa memiliki keinginan untuk melepasnya. Kalau perlu sambil menangis tersedu-sedu agar menjadi lebih dramatis.

         Well, jangan terlalu banyak berharap, karena yang sebenarnya terjadi aku membuatnya melolong dengan suara sopran—yang mengundang beberapa tatapan prihatin para pengunjung taman.

         "OUUCHH!!" Cassio membungkuk sembari meremas perutnya.

         Sayangnya kerinduan yang memuakkan ini terkontaminasi oleh amarah yang mendominasi. Tinjuku melayang begitu aku sudah berhadap-hadapan dengan Cassio. Membuat cowok itu membelalak liar, kehilangan kendali untuk berdiri tegap, dan memekik dengan sebuah suara yang sangat memuaskanku.

          "KAU PENIPU!" Aku tahu itu sebetulnya bukan kalimat yang tepat untuk digunakan, ketika kau bereuni kembali dengan cowok yang kau taksir. Tapi, jangan salahkan aku. Salahkan si sialan Cassio yang bersembunyi di balik akun seorang cewek bernama Becca Burton, mencoba berkawan denganku selama 1 minggu, DAN AKU NGGAK PERNAH MENYADARINYA.

           Aku memberi kesempatan untuk Cassio agar memulihkan dirinya dari rasa sakit yang kutorehkan, sebelum aku akan memborbadirnya dengan beribu pertanyaan. Cowok itu secepat mungkin kembali berdiri tegak dengan tangan kanan yang masih melingkari perutnya. Sebulir keringat terjun bebas dari pelipisnya.

          "Aku punya alasan bagus melakukan itu semua." Cassio membela dirinya sendiri, dan jujur saja tampak menggemaskan karena ini pertama kalinya ia terlihat takut akan kegaranganku.

         Kupasang kembali masker agar menutupi separuh wajahku—mengingat situasi masih menggila, dan banyak sekali warga lokal yang membenci eksistensiku.

        "Bagus kau menyadarinya. Kau memang berhutang penjelasan atas semua ini," tandasku. Cassio harus mengerti betapa tinggi level kedongkolanku.

         Saat Cassio meminta agar kami membicarakan apapun yang akan ia tumpahkan dari bibir sempurnanya di tempat manapun yang jauh lebih nyaman—daripada dalam posisi berdiri berhadapan satu sama lain dengan ketegangan yang mengerikan—aku pasrah ketika Cassio mengajakku duduk bersantai di atas rumput hijau tepat di tengah taman kota.

         Sama-sama bersantai di atas rumput hijau yang menyegarkan ini, aku bisa melihat sebuah keluarga tengah piknik bersama—dimana salah satu anaknya bermain freezbee dengan anjing greyhound mereka. Apabila kugeser sedikit bola mataku, aku dapat menemukan sepasang kekasih sedang berbaring sambil berpelukan, dan menebak bentuk-bentuk awan di angkasa.

         Aku menekuk lutut dan sengaja memeluknya, berbeda dengan Cassio yang duduk bersila di sampingku. Tepat di sampingku, dengan bahu yang saling bersinggungan. Aku nggak tahu apa yang mengacaukan isi kepalaku, namun situasi ini terasa familier. Ya, aku ingat, kami pernah seperti ini ketika Cassie dan Alex mengunci kami berdua di lumbung keluarga Archibald.

         "Aku minta maaf." Dengan kepala tertunduk Cassio mencabuti rumput di depannya.

         Ungkapan yang nggak terduga mengalun dari mulutnya begitu saja. Terbawa angin, memasuki gendang telingaku. Apa yang membuatnya merasa bersalah sampai harus mengucapkan itu?

         Aku hendak memberikan respon, ketika Cassio kembali mencerocoskan sesuatu.

         "Aku bersungguh-sungguh, Skye," cowok itu melirikku, "aku melakukan kesalahan fatal padamu, dan aku ingin membuat pengakuan kalau aku sangat menyesal. Bahkan kurasa aku nggak pantas kau maafkan."

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon