Day 3 : How To Do Your Laundry

332 68 94
                                    

Rabu, 7 Agustus 09.45

         Telah memasuki hari ketiga, dan kesehatan mentalku semakin rentan hanya karena hitungan mundur Bex yang mematikan. Aku berusaha menahan diri untuk nggak memblokir Bex yang selalu menjadi notifikasi teratas di layar ponselku. Tentu saja, lengkap dengan pesan seperti; kau memiliki sisa 7 hari lagi. Kuharap kau sudah mencuci otak Cassio untuk meneteskan liur tiap kali dia melihatmu. Kau tentu nggak mau, kan, menjadi bahan tertawaan karena gagal membuat pemuda desa sepertinya mencium gadis kota super populer sepertimu.

        Aku melakukan hal-hal normal, yang orang-orang normal lakukan ketika mereka merasa kesejahteraan hidupnya terancam; mengutuk segala hal yang sebetulnya nggak memiliki salah apapun, menggeram selama 5 menit yang nggak berkesudahan, mengacak-acak rambut, menghentak-hentakkan kaki, dan sisanya dapat kau pikirkan sendiri. Namun seperti yang orang-orang normal rasakan setelah pulih dari mode terlalu berbahaya untuk diganggu, aku berhasil mengoleksi semangat berapi-api ala Skye Maxwell yang nggak bisa dipadamkan.

         Maka dari itu, aku mematuhi petuah universal yang cukup terkenal dari jaman ke jaman. Gunakan kesempatan yang kau miliki sebaik mungkin, karena kesempatan emas nggak datang dua kali. Kurang lebih demikian.

       Cassie berada di toko sayur Archibald, mengawasi sekaligus membantu pekerjaan pegawai mereka yang bernama Seth—jika aku nggak salah ingat. Mikey dan Macey yang telah kulabeli dengan sebutan ‘boombox konslet’ berkat suara berisik mereka, pergi bermain bersama anak-anak kecil lainnya di luar sana. Sepengetahuanku, Alex sedang bermesraan dengan video game-nya di dalam kamar. Kuharap anak itu nggak akan muncul tiba-tiba, dan mengacaukan rencanaku yang mencoba untuk mendekati abangnya. Kebetulan sekali, Cassio sedang menjemur pakaian di halaman belakang.

        Tentu saja aku harus memastikan terlebih dahulu bagaimana penampilan luarku.  Rambut pirang panjang yang sengaja kuikat asal agar meninggalkan kesan seksi, check. Polesan lip balm rasa ceri yang membuat permukaan bibirku tampak merah muda berkilau, check. Semprotan parfum aroma honeysuckle yang serasi dengan aroma pagi hari musim panas, check. Yang terakhir, pakaian kasual yang membuatku tetap terlihat sangat trendi, check.

        Tanpa membuang-buang waktu, aku segera berderap menuruni anak tangga dengan kepercayaan diri yang telah mencapai batas maksimal. Aku menemukan Cassio yang rupanya telah menyelesaikan pekerjaannya di halaman belakang. Dalam posisi memunggungiku, cowok itu merapikan keranjang pakaian di samping mesin cuci. 

        “Hai, Cass.” Aku tidak mengarang, apabila kukatakan cowok itu sedikit terkejut melihat kemunculanku yang tiba-tiba.

       “Uh, hai?” Cassio menyurukkan satu tangan ke saku jins baggy-nya, menekannya ke bawah, seolah-olah menantang celana itu untuk meluncur turun dari pinggulnya dan bertumpuk di atas sepasang kaki telanjangnya yang besar.

       Sampai detik ini kurasa Cassio sama sekali belum terbiasa melihatku menyapanya—mengingat rekam hubungan kami yang nggak bagus sejak awal kami bertatap wajah. Oh, tapi aku harus mengesampingkan itu. Aku harus menjinakkan Cassio dengan keramah-tamahanku, supaya dia dapat menganggapku sebagai cewek yang memiliki potensi tinggi untuk dijadikan objek ciumannya.

      Mulanya aku nggak mempersiapkan topik apa yang akan kuungkit di antara kami. Namun aku dapat melihat mesin cuci pakaian dari tempatku berdiri, sehingga sebuah ide terbesit di dalam kepalaku.

       “Aku bertanya-tanya,” kataku, “apakah kau tahu dimana aku bisa menemukan rumah binatu di sekitar sini? Aku mulai kehabisan pakaian. Terlebih lagi, pakaian kotorku yang kau buat basah kemarin akan segera bau jika aku nggak menemukan orang yang dapat menyucikannya.”

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt