Day 4 : Trapped With an Enemy

277 62 49
                                    

       Kamis yang penuh kesialan, 8 Agustus 19.45

       Aku akan membuat sebuah pengakuan. Percayalah, ini bukanlah pengakuan dosa atau semacamnya—mengingat aku bukan tipikal cewek yang mengidolakan sesi memohon ampun setelah berbuat jahat. Bahkan di titik tertentu, aku justru menikmatinya. Sebentar, apakah aku sudah layak menjadi tokoh antagonis dengan karakter yang medarah daging seperti ini?

        Omong-omong, lupakan pengalihan isu yang baru saja kulakukan. Yang sebenarnya ingin kukatakan adalah, aku mengakui bahwa melihat Margot ... sama halnya dengan melihat diriku sendiri. Ketika Margot menjadikanku kambing hitam tepat di hadapan Cassio—setelah ia dengan sengaja membuat dirinya sendiri cidera, rasa-rasanya aku tengah bercermin. Oh, ­hell no. Bukan berarti kami memiliki kesamaan fisik, kekayaan, dan ketenaran. Aku adalah badai, dan Margot hanyalah udara kosong. John F. Kennedy sekalipun nggak akan bisa mengubah fakta itu. Well, tentu saja. Presiden Amerika itu sudah tewas dibunuh bahkan sebelum aku lahir.

      Margot adalah cewek yang diam-diam memiliki bakat untuk bermain kotor. Itulah persamaan kami. Kembali pada masa ketika aku menguasai kehidupan sosial SMU Shaddyside, aku selalu mendapatkan apapun yang kuinginkan menggunakan segudang rencana—yang membuatku mirip layaknya penyihir atau ibu tiri jahat di film Disney.

       Akting Margot berimbas buruk padaku. Setelah Cassio mengantar cewek bermuka dua itu pulang, secara resmi aku menjadi manusia yang ingin sekali dieksekusi oleh Cassio. Sudahkah aku menyebut, bahwa cowok ini pandai dalam menggunakan kata-kata menyakitkan hati? Ya, dia menggunakan keahliannya untuk membuatku merasa terhina.

      "Pikirmu, untuk apa aku sengaja menarik kursi dan membuat Margot terjatuh?! Dia berbohong, dan kau seharusnya melihat senyum liciknya ketika kau menuntunnya!" Aku membela diri setelah Cassio tuntas memarahiku beberapa jam yang lalu. Percayalah, namun kobaran api di setiap pakaian Katniss Everdeen dalam film Hunger Games—nggak ada apa-apanya dibandingkan kobaran api dalam dadaku.

       Wajah Cassio merah padam. "Berhenti mempermalukan dirimu sendiri. Kau jelas-jelas telah membuat Margot celaka, dan kau masih nggak mengakui itu."

       "Mempermalukan diri sendiri? Kau yang seharusnya malu akan dirimu, Cassio. Kau nggak menyaksikan kejadiannya, dan kau menuduhku tanpa mencari bukti terlebih dahulu."

        Aku masih ingat Cassio terbahak sadis mendengar balasanku. Dengan gelagat angkuh ia kembali menerjangku dengan kalimat mematikannya. "Hah, bukti! Dengarkan aku baik-baik. Hanya karena kau pewaris tunggal kekayaan ayahmu, dan seorang cewek populer yang mempunyai segudang kenalan artis Hollywood, kau bukan apa-apa. Kau adalah sampah masyarakat dengan semua sikap sok hebat, manja, penindas, dan kebodohanmu yang nggak berkesudahan. Selama kau berada disini, kau nggak bisa membantu apapun selain membuat masalah. Sama sekali nggak pantas untuk diandalkan."

        Cassio melihat bibirku mulai bergetar samar, namun ia nggak berhenti melukai perasaanku. "Margot memang nggak sehebat kau. Namun aku telah mengenalnya cukup lama, sampai aku tahu jika kejujuran Margot nggak perlu lagi diragukan. Orang cerdas saja lebih memilih untuk berpihak dengannya, ketimbang memercayai bualanmu."

        Aku merasakan sensasi perih yang kupikir akan menjadi permanen. Seakan-akan aku memiliki luka menganga, dan Cassio memperkeruhnya dengan menaburi lukaku dengan garam. Cassie datang untuk bertukar shift, dan betapa malangnya ia karena harus menyaksikan pertengkaran sengitku dengan saudara kembarnya Cassio.

        Aku berterima kasih pada air mataku, karena berlian cair itu nggak mengalir tanpa aku bersusah payah menahannya. Aku hanya mampu merapatkan gigi, mengepalkan kedua tangan, dan mengerutkan dahiku. Melawan Cassio kembali terasa sia-sia, dan hanya menyerap habis esensi hidupku.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ