Nothing Worse Than My First Day In Village

606 95 95
                                    

4 Agustus, 13:00

       Dad nggak mengantarku, dan nggak perlu ditanya lagi, aku mendadak ingin sekali mencari-cari kesalahan orang lain. Namun setidaknya, Dad membiarkanku merasakan kemewahan terakhir sebelum aku menginjakkan kaki di tanah pedesaan Inggris Raya yang menyedihkan.

       Jelasnya, aku diantar menggunakan pesawat pribadi. Lalu dari bandara, supir yang juga menemaniku selama perjalanan udara—mengantarkanku ke rumah Bibi Madeleine menggunakan Mercedes Benz. Luar biasa, meskipun nggak terlalu. Mengingat bahwa aku sering meminjam pesawat itu, mengundang anak-anak populer lainnya, dan juga  beberapa selebriti sosial media, untuk mengadakan pesta di udara.

       Aku duduk manis seperti anak kucing di jok belakang selama 1 jam lebih, hanya untuk melintasi sebuah jalan berkelok-kelok yang panjang, dengan pemandangan serba hijau berupa hutan lebat, kemudian disambut lembah dan perbukitan.

      Sekedar pengakuan, apa yang kulihat melalui kaca mobil lumayan sedap dipandang. Namun menyadari bahwa nggak ada gedung atau bangunan apapun selain rumah penduduk, toko sederhana, dan gereja, membuatku sedikit panik.

       Kemudian aku sampai. Supir yang mengantarku mengeluarkan dua buah koper dari dalam bagasi. Dengan satu salam perpisahan pendek, pria itu memasuki mobil dan meninggalkanku seutuhnya di antah berantah.

       Secara harfiah, ruh–ku hampir saja melarikan diri ketika aku menatap lamat-lamat kondisi dan rupa kediaman Bibi Madeleine. Sulit sekali untuk sekedar menelan satu tegukan saliva, seakan-akan yang kutelan sebenarnya adalah racun tikus.

       Selama ini kita menyebut lasagna sebagai makanan, Albert Einstein sebagai ilmuwan, atau Belanda sebagai negara. Tetapi bangunan dua lantai bercerobong asap di hadapanku, nggak dapat disebut sebagai rumah. Jeez! Ini jauh lebih buruk!

      Aku sedikit banyak masih mengingat tatanan rumah Bibi Madeleine. Jika kembali ke masa lampau, maka rumah ini 3 kali lipat jauh lebih baik. Sekarang, 50% permukaan dinding luar rumah Bibi Madeleine—yang catnya berwarna peach—terkelupas parah.

       Kemudian di sisi barat, wanita itu memiliki pancuran air mini dimana burung-burung biasanya hinggap di tepian batunya. 9 tahun berlalu, dan pancuran air itu kering, retak, dan barangkali bakal runtuh keesokan paginya. Beberapa tanaman liar dibiarkan tumbuh begitu saja, dan sarang laba-laba ada dimana-mana.

       Demi tuhan, ini bukan rumah untuk para manusia. Para hantu lebih pantas menempatinya.

      Buru-buru aku mengeluarkan cairan antiseptik dari dalam tas, dan menumpahkannya di atas telapak tanganku. Ewh.

      Pintu masuk berkeriut mengerikan seolah-olah engselnya telah berkarat sepenuhnya. Seorang gadis kecil berusia sekitar 7 tahun keluar malu-malu sembari memeluk boneka kuda poninya.

      "A-apa kau sepupu Skye Maxwell?"

      Astaga, perlukah kalian kuingatkan sesuatu? Aku. Benci. Anak. Kecil. Peduli setan, sekalipun anak kecil yang saat ini berjarak 5 kaki dariku, cukup menggemaskan berkat wajah bulatnya yang dibingkai surai cokelat panjang yang bergelombang.

       Aku mendengus, "Itu aku." Tak lama berselang, dahiku mulai berkerut, karena aku nggak ingat bahwa Bibi Madeleine memiliki anak. Tanpa banyak berpikir, aku menyimpulkan barangkali wanita itu memutuskan untuk menghasilkan satu anak berama suaminya ketika aku nggak mengunjungi kawasan ini selama 9 tahun.

       Semburat kemerahan merambat naik ke pipinya yang berisi. "Ibu benar. Dia bilang kau sangat cantik," ujarnya malu-malu.

       "Oh, terima kasih," balasku setengah hati. Aku sudah menerima pujian itu lebih dari milyaran kali sampai aku cukup bosan mendengarkannya.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Where stories live. Discover now