Day 6 : An Amateur Spy (Part 1)

253 52 4
                                    

       Sabtu, 10 Agustus 08.12


        Jika aku diberi kesempatan untuk memilih satu benda yang sangat kuinginkan sekarang juga, maka aku akan menyebut penyadap alih-alih kalung, blus, sepatu, atau bahkan anak anjing yang menggemaskan. Kau akan mengerti, setelah kau bertukar tubuh denganku. Merasa frustasi, karena nggak bisa mendengar dan melihat aktivitas hanya-Tuhan-yang-tahu-apa di antara Margot dan Cassio.

         Hanya dengan meratapi pemandangan pintu kamar tidur Cassio yang tertutup rapat selama nyaris 2 jam lamanya, membuatku ingin mencakar sesuatu yang bersedia menjadi korban kuku tajamku. Aku telah menempelkan telingaku pada pintu beberapa menit silam, dan yang mampu kudengarkan hanyalah keheningan absolut—seakan-akan dua manusia di dalamnya telah mati.

         Andai saja aku memiliki penyadap. Yeah, andai saja. Dengan begitu aku nggak perlu membuat rentetan spekulasi buruk yang membuatku resah nggak berkesudahan. Tapi kenapa? Mengapa aku harus merasa khawatir dan takut memikirkan apa yang terjadi di balik pintu kayu itu?

         Aku hanya perlu membuat Cassio terperangkap dalam pesonaku, dan membuatnya menciumku secara sukarela dalam kurun waktu 4 hari lagi. Seharusnya aku persetan saja dengan siapa yang cowok itu sukai, maupun cewek mana yang menyukainya.

         Aku telah bersikeras berusaha membuang jauh-jauh pikiran yang meracuniku itu. Sayang sekali, semua sama sulitnya dengan menghilangkan cat tembok yang tumpah ke celana jins belelmu.

         Kyle menelponku nggak lama kemudian, dan aku memutuskan untuk mengabaikan panggilannya ketika aku mendengar pintu kamar Cassio berkeriut pelan. Suaranya menembus daun pintu kamarku yang tertutup. Membuatku yang sedang mengikir ujung kuku, beranjak tiba-tiba dari depan meja rias.

          Aku memang berdiri seperti orang bodoh, namun kini aku bingung apa yang semestinya kulakukan. Apakah aku harus memastikan Margot sesegera mungkin meninggalkan rumah ini, atau aku hanya tetap diam—menghipnotis diri sendiri agar tetap berada di tempatku yang seharusnya. Opsi pertama tentu akan membuat Cassio semakin membenciku, karena jadinya aku tampak terlalu terobsesi dengan Margot. Aku nggak menemukan titik berbahaya dari opsi kedua, dan kupikir jika aku tetap bersikap masa bodoh—akan membuat perasaan misteriusku pada Cassio jadi terkontrol.

         Dengan berat hati aku kembali duduk di depan meja rias, sembari mengumpulkan niatan yang tercerai berai untuk menghubungi Kyle. Tersisa jarak setengah inchi antara ujung jari telunjukku dengan tombol dial, ketika aku mendengar tawa sumbang dua orang yang sebelumnya menjajah seluruh pikiranku dari halaman belakang.

         Suara yang merambat di udara hingga akhirnya memenuhi setiap sudut kamarku itu, secara otomatis menggerakan seluruh persendianku. Nggak ada yang dapat mengalahkan kecepatan sambaran petir, selain kecepatanku dalam melintasi ruangan, merangkak di atas kasur, dan mengintip diam-diam pada sumber suara melalui jendela kamar yang terbuka lebar.

        Sekarang, aku telah mencapai batas keterguncangan yang pernah ada.

         "Assholes," umpatku ketika kedua manik mataku tertambat pada sosok Cassio dan Margot yang berjalan beriringan.

         Cewek jalang itu tertawa sampai menutupi mulutnya yang terbuka, setelah mendengar apapun yang Cassio ucapkan. Salivaku seperti tercampur dengan zat kimia aneh yang membuatnya terasa pahit ketika aku menelannya. Rasa muakku berlipat-lipat ganda menyaksikan cara mereka berjalan. Entahlah, namun Margot tampaknya sengaja menggerakkan tangannya agar menyentuh punggung tangan Cassio  berulang kali.

          Mereka melangkah penuh kepastian, menuju hutan yang terbentang dari ujung ke ujung di belakang rumah keluarga Archibald. Saat Margot dan Cassio ditelan oleh sisi lain dunia yang memiliki warna serba hijau tersebut, dengan putus asa aku berderap menuju lantai dasar.

        Aku menemukan Cassie sedang mengosongkan keranjang, dengan memasukkan tumpukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Aku memikirkan pertanyaan jenis apa yang mesti kuajukan, tanpa meninggalkan kesan bahwa aku penasaran setengah mati kemana perginya Cassio dan Margot.

        "Cassio nggak pergi ke toko?" tanyaku akhirnya dari luar ruang laundry.

        Dalam posisi membungkuk, cewek itu menggelengkan kepala. "Well, ada Seth yang menjaga toko sayur. Jadi Cassio nggak perlu repot-repot pergi kesana. Kau juga bisa bersantai hari ini, Skye."

         Nama yang diawali huruf S itu membuat kedua alisku bertautan.

         "Sebentar," aku menggeleng nggak mengerti, "Cassio bilang Seth diliburkan selama aku tinggal di desa ini."

        Kekehan Cassie niscaya akan membuat alisku menjadi satu dan nggak bisa terpisahkan secara permanen. Setelah memasukkan pakaian terakhir ke dalam mesin cuci, ia menegakkan punggungnya dan menghadap ke arahku.

         "Ya ampun, Skye. Cassio hanya menggertak. Kau harus tahu betapa sukanya ia mengerjaimu." Alih-alih merasa kesal karena selama ini telah ditipu oleh saudara kembar Cassie, aku justru merasakan perasaan hangat yang merebak di dadaku. Mengetahui fakta, bahwa Cassio menyukai sesuatu dariku—meskipun itu bukanlah hal positif. Yeah, memang benar bukan? Sengaja membuatku menderita demi hiburan mata, bukanlah hal positif.

          Samar-samar aku melihat pergerakan seorang manusia di salah satu sudut mataku. Benar saja, Alex menghabiskan segelas air di dapur dengan kalap—seolah-olah ia baru saja berhasil keluar dari gurun Sahara setelah terjebak selama belasan tahun lamanya.

          Seperti dalam kartun anak-anak, tiba-tiba saja bohlam lampu imajiner berwarna kuning menyala terang di atas kepalaku. Kemunculan Alex menjadi sebuah inspirasi yang nggak ternilai. Siapa sangka jika inspirasi itu berubah wujud menjadi sebuah ide cemerlang?

        "Ahoy, alex!" seruku, nyaris membuat Alex tersedak oleh tegukan terakhirnya. Aku memberi cowok itu senyuman terlebar yang pernah ada.

         Selama ini Alex selalu memandangiku dengan tatapan memuja, seolah-olah hanya keberadaanku-lah yang menjadi penunjang hidupnya. Namun kini, Alex menatapku seakan aku baru saja kehilangan akal sehat. Aku nggak menyalahkannya, mengingat aku baru saja memberinya senyuman perdana. Yang mana meninjau dari rekam kekerabatanku dengan Alex, cowok itu hanya menemukan wajah dongkolku acap kali tatapan kami bersirobok sejak awal aku berkenalan dengannya.

         "A-a-a-hoy?" balas Alex nggak yakin, sementara aku tetap mempertahankan senyum palsuku.

        Aku meletakkan tanganku pada bahu Alex. Kulihat jakun cowok itu bergerak naik turun, dan wajahnya memerah bak kepiting rebus saat aku memberinya sedikit pijatan sensual. Berani bertaruh, pasti kedua lututnya mendadak menjadi lembek seperti jeli.

         "Hey, Alex. Aku ingin sekali pergi ke hutan di belakang rumahmu. Tapi aku membutuhkanmu sebagai pemandu jalan." Dalam tanda kutip, aku membutuhkannya untuk menjagaku agar nggak tersesat ketika sedang mencari Cassio dan Margot.

        Memoriku berkelana pada keheningan yang mengerikan saat aku mencoba menguping dari depan kamar tidur Cassio. Dan kini, baik Margot maupun Cassio memutuskan untuk pergi bersama menuju hutan. Entah apa yang mereka lakukan, aku nggak bisa hanya duduk diam menunggu Cassio kembali.

       "Te-te-tentu saja a-aku ma—Aw!" pekik Alex. Aku menunduk, dan melihat kekonyolan yang tengah terjadi. Anak itu mencubiti pergelangan tangannya, hingga permukaan kulitnya jauh lebih merah dari wajah idiotnya yang tampak gugup tak karuan.

        Dia mengibaskan tangannya seraya berujar, "A-aku ... aku ... sekedar memastikan bahwa aku se-sedang ... nggak bermimpi."

        Oh yang benar saja. Bahkan Alex membutuhkan waktu 5 detik untuk menuntaskan kalimat gagapnya barusan. Aku bisa tertinggal jauh dari Cassio dan Margot jika terlalu lama berada di dalam rumah ini.

         "Kau 1000 persen sadar, Alex. Dan ajakanku akan tinggal mimpi, jika kau terlalu lama tercengang," ancamku seraya meraih tangan Alex, dan menariknya.

         Misi penting untuk menjadi mata-mata amatir yang turun lapangan, menungguku di luar sana. Meski sebagian besar jiwa yang mengendap dalam tubuh ini—tubuh gadis berperawakan sempurna yang menjadi idaman setiap orang—memiliki ketakutan besar akan apa yang mungkin disaksikannya tak lama lagi.[]





-To Be Continued-

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Where stories live. Discover now