Day 2 : Waterfall and The Shirtless Cassio

337 72 61
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Selasa, 6 Agustus 08.40.

        Selama eksistensiku hidup sebagai putri tunggal keluarga Maxwell, pada umumnya aku mengalami kelelahan fisik setelah melakukan fitness, berpesta setiap hari, atau membelanjakan harta kekayaan keluargaku yang nggak pernah habis namun terus bertambah. Akan tetapi, sesuatu terjadi tadi malam. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia,  persendianku luar biasa pegal setelah menjadi pegawai nggak dibayar di sebuah toko sayur milik keluarga Archibald. Teramat lelah, sampai aku nggak sanggup melakukan perawatan wajah sebelum tidur.

       Aku nggak akan pernah membiarkan semua orang di luar desa mengetahui kabar paling memalukan ini. Dampaknya, aku bisa kehilangan sejumlah pengikut di berbagai sosial media, dan semua orang bakal tertawa di belakangku. Tapi kalian harus tahu sesuatu. Semua ini belum berakhir, karena aku akan bekerja tanpa upah setiap harinya. Ya ampun, sempat terbesit di dalam kepalaku untuk menguras habis brankas Bibi Madie dan kabur menuju Hawaii, atau dimanapun aku bisa bahagia, dan tenang.

         Masih dalam keadaan terkantuk-kantuk—dengan tingkat kemalasan yang melampaui batas maksimal—aku hendak menuju kamar mandi di lantai dasar untuk membasuh wajah kumalku. Ketika aku membuka pintu, kedua netra sayuku menatap lurus pada pintu kamar tidur Cassio yang terbuka lebar. Kulihat cowok itu sedang duduk di bibir kasur. Kepalanya tertunduk, dan ia tampak fokus pada kamera analog yang ia genggam.

        Aku tahu bahwa aku nggak menyukai Cassio, pun sebaliknya. Namun kurasa nggak ada salahnya menyapa cowok itu, berharap dapat menurunkan kadar kebenciannya padaku meski hanya nol koma persen.

        “Pagi, Cass.”

       Secepat kilat Cassio menengadahkan kepala, balas menatapku dengan air muka keheranan. Apabila semua cowok balas menyapa seraya tersenyum sangat lebar dari telinga kanan hingga telinga kiri, Cassio dengan mimik datar hanya mengangguk samar dan kembali berkutat pada kamera analognya.

        Sialan, tindakannya membuat dadaku perih.

        Berusaha bersikap seakan hal itu nggak membuatku bermasalah, dengan gusar aku kembali melangkah menuruni anak tangga yang selalu berderit setiap kali aku menginjaknya. Alex yang muncul tiba-tiba dari sisi tangga, nyaris menabrakku. Terima kasih pada refleks tubuhku yang sempurna, sehingga aku dapat menghindari kecelakaan maut pagi ini.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Where stories live. Discover now