Day 7 : The Another Jerk Namely Kyle

249 59 21
                                    


Minggu, 11 Agustus 11.00


         Waspada! Bocoran : Andai aku bisa meramalkan masa depan—dan dapat menyaksikan bencana mengerikan apa yang akan menimpaku satu jam kedepan—aku nggak akan duduk dengan gugup di kursi penumpang. Bersama Cassio Archibald, dan nahasnya terjebak di dalam truk uzur ibunya. Yang kulakukan adalah memperkerjakan para ilmuwan hebat yang dapat membuatkanku mesin waktu—agar aku dapat melakukan kunjungan pada momen dimana akar permasalahan dimulai.

         Alam sadarku terlalu sibuk—untuk sekedar protes mengenai panasnya suhu udara, truk ketinggalan jaman yang kami kendarai, dan memikirkan hubungan rahasia antara Cassio dan si Jalang Margot yang masih membuatku shock sampai saat ini.

         Fokusku tersita sepenuhnya oleh fakta, bahwa ratusan pengikutku di berbagai sosial media—mulai mempertanyakan dimana aku berada. Kotak pesanku nyaris meledak oleh pertanyaan semacam; Hey, Cantik. Kenapa semua akun sosial mediamu sangat sepi, Say? Apa kau melupakan kata sandinya, atau kau sedang berada di tempat yang krisis jaringan internet?

         Aku ingin sekali membuat kebohongan kepada para pengikutku. Apapun itu, selain mengaku bahwa aku tengah terdampar di sebuah pedesaan yang nggak menjajakan kemewahan apapun selain sapi perah kotor, ladang gandum, dan hutan. Sekalipun aku menyebut bahwa aku sedang melakukan liburan di Hawaii, mereka pasti menuntut bukti—dan aku nggak memilikinya satupun. Nah, baru sekarang aku berharap memiliki keahlian sampingan dalam mengedit foto.

           Di tengah-tengah perjalanan menuju tempat tinggal Paman Jo, aku menyadari detail kecil yang Cassio lakukan. Ia selalu mengetuk-ketukkan jari tengahnya pada kemudi tanpa istirahat, dan acap kali aku mengetik sesuatu di ponsel gepengku, Cassio selalu menyerongkan sedikit kepalanya—seolah-olah ia berniat mengintip apa yang sedang kulakukan. Firasat bahwa Cassio ingin mengutarakan sesuatu, sungguh-sungguh memenuhi seluruh akal sehatku.

           Aku diam-diam mendesah lega ketika Cassio memanggilku dengan sebutan favoritnya—Crazy American. Menanti cowok itu memecahkan keheningan, terasa seperti menerjang hidup 7 generasi lamanya.

          "Margot mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di gudang." Whoa, aku sama sekali nggak menduga apabila runguku akan mendengarkan kalimat ini. Jenis kalimat, yang ajaibnya berhasil meredam suara deru mesin truk Bibi Madie—yang amat mengancam kesehatan gendang telinga.

           Segenap atensiku hanya berpusat pada sosok Cassio yang separuh fokus ketika menyetir, dengan tubuh yang sedikit berguncang karena jalanan nggak rata yang kami lalui.

          "Mengaku kalau cewek itu sengaja mengkambing hitamkanku, seperti bukan gaya Margot," komentarku. Jujur saja aku sedikit iritasi saat Cassio berdecak, setelah aku memberinya ucapan buruk tentang Margot.

           "Dia nggak ... dengar, Margot awalnya mengira dia terjatuh karena kau yang menarik kursi itu. Sebut saja ia telah melalui banyak sesi 'berusaha mengingat', dan akhirnya cewek itu sadar kalau ia hanya terpeleset," Cassio melirikku cepat, "Margot ingin sekali minta maaf padamu pada hari yang sama, hanya saja kau nggak memberinya kesempatan."

            Aku tertawa tanpa humor, namun sarat oleh ironi yang nggak terenyahkan. Merasa seakan melewatkan sesuatu, Cassio bertanya apa yang lucu dari ucapannya barusan. Tawaku semakin melebar mendengar pertanyaan bodohnya.

           "Lucu karena kau masih percaya ucapan cewek ular itu. Cass, kuberitahu kau kebenaran," ungkapku sembari memajukan tubuh ke arah Cassio, yang balas menatapku waspada dengan rahang yang mengeras.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora