Day 4 : Kiss Under Moonlight

387 67 50
                                    

       Kamis, 8 Agustus 21.30

       Selama sekitar 20 menit kami meratapi kesunyian sembari diam seribu bahasa. Tepat di atas pintu lumbung yang berdaun ganda, terdapat sebuah ventilasi persegi berukuran lumayan besar—sehingga sinar rembulan yang temaram dapat menyokong kemampuan penglihatanku.

       Aku mengalami godaan besar untuk mencuri pandang ke arah Cassio yang duduk bersandar pada pintu, 1 meter dariku. Betapa beruntungnya cowok itu mengenakan sweater, hingga dia nggak perlu menderita karena suhu rendah malam hari sepertiku. Andai aku tahu jika malamku berakhir tragis dengan terjebak bersamanya di tempat kotor nan dingin ini, aku nggak akan memakai celana pendek dan kaus ketat yang tipis. Ugh, satu kebodohan lainnya, aku meninggalkan ponsel di atas kasur.

       Kedua kelopak mata Cassio tertutup rapat seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Pose itu sungguh sempurna untuk dada dan lengannya. Aku nggak habis pikir bagaimana bisa cowok itu terlihat luar biasa pasrah, dan nggak mencoba untuk mengeluarkan kami berdua dari penjara terkutuk ini. Aku nggak mungkin membiarkan diriku berlama-lama di dalam lumbung jerami yang membuatku gatal-gatal, kedinginan, dan kotor.

      "Seharusnya kau berbuat sesuatu. Aku nggak ingin terjebak selamanya di sini. Bersamamu," gumamku membuat rahang Cassio menegang.

      "Atau, kita bisa diam saja dan membuat Cassie beranggapan bila kita telah akur atau semacamnya," balasnya tanpa membuka kedua mata. Kini ia menumpang tindihkan kedua kaki panjangnya.

      Idenya cukup masuk akal, sampai aku nggak memiliki niat untuk kembali bersuara. Aku menyerongkan kepalaku untuk memindai bentuk wajah Cassio yang terlihat samar. Kurasa sistem yang berjalan di dalam otakku sedikit konslet, karena baru saja aku beranggapan bahwa cowok ini terlihat cukup tampan. Aku baru menyadarinya sekarang.

      Tetapi, akan menjadi ironi apabila aku nggak meluruskan kesalahpahaman di antara kami berdua (Terima kasih untuk Margot berkat perbuatan jahatnya padaku). Lagipula, sulit untuk membayangkan Cassio bergabung ke dalam kubu Margot, dan mereka berdua pada akhirnya mengeroyokku secara nggak harfiah.

     "Cass—"

     "Kurasa kita sepakat untuk nggak mengobrol," sela Cassio sambil sedikit menggeliat.

     Aku menelan dalam-dalam oksigen dan sikap apatis cowok itu secara bersamaan. Kembali pada momen ketika aku menghabiskan hari sebagai gadis California pada umumnya, aku mengikuti kelas yoga dan sesekali melakukan meditasi. Ada beberapa trik yang membuatku terpisah dari segala jenis emosi negatif. Aku melakukannya sekarang. Berusaha membujuk diri sendiri untuk nggak melanjutkan pertengkaran yang keseribu kalinya dengan Cassio.

      "Aku tahu aku ini berengsek. Aku nggak mendebatnya ketika kau mengejekku seperti itu, karena, well, itu memang benar." Tanpa membubuhkan ketegangan dalam nada bicaraku, aku kembali memecah kesunyian.

      Cassio pelan-pelan membuka kedua kelopak matanya. Dia menyulitkanku dengan memperlihatkan garis wajah yang nggak bisa terbaca. Cowok itu mempererat lipatan tangan di depan dadanya, dan semakin menundukkan kepalanya. Aku nggak bisa menebak antara ia merasa kedinginan, atau ia merasa nggak nyaman dengan apa yang baru saja kukatakan.

      Tapi aku nggak bisa mengunci bibirku. "Rasanya nggak mudah ketika aku harus tumbuh besar hanya dikelilingi oleh selusin pembantu. Mom dan Dad, mereka hanya sepasang orang dewasa yang berpura-pura menjadi orang tuaku. Aku jarang melihat mereka nggak sibuk dengan pekerjaan masing-masing."

      Angin malam yang menyelinap masuk melalui ventilasi membuatku memeluk lutut. Kutemukan diriku terbawa suasana dan terus berbicara. "Meskipun aku bisa melakukan dan memiliki apapun hanya dengan satu gesekan kartu kredit, aku justru merasa semakin nggak diinginkan ketika Mom meninggal."

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Where stories live. Discover now