Day 9 : They Own That Pajero

277 59 14
                                    


Minggu, 13 Agustus 06.05

    

         Aku nyaris nggak pernah menghabiskan secuil waktu untuk sepupu tiriku yang kembar—Macey dan Mikey, well, karena kuyakin kau sudah paham betapa besarnya presentase kebencianku pada anak kecil. Hakikatnya, bocah cilik ingusan seperti mereka adalah makhluk mengerikan yang sangat cerewet, hobi bermain di tempat kotor, dan biang keladi dari banyaknya perusakan properti milik seseorang.

         Jeritan riang keduanya dari lantai dasar, menghancurkan mimpi indahku secara totalitas. Masih dalam balutan gaun tidurku dan dibalik wajah serta rambut yang kusut, aku menemukan Mikey dan Macey berlari mengelilingi setiap ruangan yang ada sambil berteriak, "Yeay, jalan-jalan! Hari ini kita jalan-jalan!"

          Pada hari biasa, barangkali dengan bahagia aku akan membentak kedua bocah itu agar nggak menciptakan kebisingan. Masalahnya, sekarang bukanlah hari biasa. Ini adalah hari istimewa, dimana aku tahu bahwa Cassio rupanya juga membalas perasaan sukaku—meski ia masih berpikir, bahwa sedikitpun aku nggak tertarik padanya. Euforia yang menggelegak dalam dada, membuatku nggak bisa melampiaskan amarah pada dua setan cilik yang masih heboh berteriak nyaring tentang jalan-jalan.

          Aku berjalan malas menelusuri ruangan demi ruangan, untuk menemukan Cassie yang telah menyibukkan diri di dapur—dengan tangan kanan yang menggenggam pisau, dan tangan kiri memegang sebuah kentang, Alex yang sedang menonton kartun pagi Nickelodeon, dan Cassio yang dihipnotis oleh apapun itu yang muncul di layar ponselnya.

          Bahkan anak tertua di keluarga aneh ini terlihat sangat tampan—meski surai cokelat lebatnya belum disisir, dan masih memakai pakaian yang sama seperti yang dikenakannya kemarin. Mendadak aku merasa telah menjadi cewek paling beruntung se-alam semesta karena ditaksir oleh Cassio. Membayangkannya saja membuatku ingin memecahkan tangis nggak berkesudahan, sampai stok air mataku habis.

          "Ada yang bisa menjelaskan padaku, kenapa adik bungsu kalian bertingkah seperti kesurupan iblis jahat pagi ini?" tanyaku datar, berusaha sekuat tenaga untuk nggak terlihat gugup berkat kehadiran Cassio.

          Mendengar suaraku, Alex secepat kilat menolehkan kepalanya padaku. Terlalu cepat, sampai aku sempat khawatir lehernya akan patah. Ia menjawab, "Well, Cassio mengajak kita semua untuk pergi ke London. Ada sebuah festival musim panas yang cukup besar disana. Kalau nggak salah ingat namanya Wall ... Waltz ... Wa—"

          "Walthamstow Garden Party. Itu yang benar, Alex," koreksi Cassie dari dapur.

          "Ya, itu maksudku. Jadi kau bisa bersiap-siap, karena 2 jam lagi kita akan berangkat," sambung Alex sembari mengerling genit padaku. Jika aku nggak ingat kalau bocah bermulut besar itu memegang rahasia tergelapku saat ini, niscaya aku sudah mencekiknya tanpa ampun.

          Cassio nggak mencuitkan suara jenis apapun, dan itu membuatku nggak bisa berdiri tegap tanpa berhenti menekuk-nekukkan jemari kakiku. Bukan Cassio Archibald namanya, jika cowok itu tetap mengunci bibirnya ketika aku berada di sekitarnya dan bersikap menyebalkan. Well, seenggaknya aku paham jika cowok itu nggak berpengalaman dalam urusan percintaan, sehingga dia kelihatan seperti manusia yang dalam hidupnya nggak memiliki nyali—terutama ketika melihatku.

***

          Aku sudah tinggal bersama keluarga Archibald selama lebih dari 1 minggu, dan semua anggota keluarganya nggak lelah memberiku kejutan yang selalu membuatku lupa akan eksistensi ribuan kosakata. Seperti sekarang, ketika aku dan Archibald bersaudara telah berdiri di halaman rumah dengan pakaian yang rapi, bersiap untuk meninggalkan desa menyedihkan ini menuju London.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Where stories live. Discover now