Day 4 : Can I Kick Your Ass, Margot?

323 59 58
                                    

Keesokan harinya. Kamis, 8 Agustus 09.30



       Belajar dari pengalaman, kali ini aku mendengarkan musik pop menggunakan earphone dengan volume yang cukup nyaring. Setidaknya cukup nyaring, untuk meredam suara mengerikan deru mesin truk yang sedang dikendarai Cassio. Ia mematikan mesin ketika kendaraan butut ini telah terparkir manis di samping toko sayur keluarga Archibald.

       Aku keluar dari truk, dan melangkah masuk ke dalam panasnya bulan Agustus yang membara. Aku nggak akan kaget jika bisa menggoreng telur di atas kap truk sampai matang.

       “Akhirnya,” gumamku seraya mendesah lega. Kugeserkan kacamata hitam ke puncak kepalaku. Terkutuklah wahai kelembapan, karena berkatnya rambutku menjadi 4 kali lipat besarnya. Aku bahkan bisa meraskan rambutku melahap kacamata hitam ini layaknya tumbuhan hutan karnivora. Padahal aku telah menggunakan shampo impor yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang sosialita.

       “Bisakah kau panggilkan Seth? Aku butuh bantuan untuk memindahkan karung-karung ini ke ruang penyimpanan,” pinta Cassio yang kusambut dengan anggukan dan sesimpul senyuman palsu di wajahku. Cassio justru menatapku geli, karena ia salah mengira bahwa senyum ini kuberikan padanya secara tulus.

         Aku masih nggak menerima kenyataan, bahwa tadi pagi cowok itu memaksaku kembali menjadi pegawai di toko sayurnya yang nggak dibayar sepeserpun. Padahal aku sedang ditelan oleh sensasi membahagiakan, karena aku dan Kyle saling memperdalam hubungan melalui sosial media. Namun bagaimanapun, aku nggak bisa mengenyahkan eksistensi tantangan Bex. Sebenci apapun aku pada Cassio, aku harus membuat hatinya yang sekeras baja melumer minggu ini. Bersikap menjadi cewek penurut adalah opsi terbaik sekarang.

         Aku berjalan memasuki toko—yang artinya hawa panas berkurang setengah derajat saja. Seorang wanita bertubuh subur—yang kuyakin adalah seorang pembeli—terlihat tengah memilih asparagus mana yang tampak paling segar. Aku sedikit menggulirkan bola mataku, dan kutemukan seorang pria berwajah masam berdiri di belakang mesin kasir. Tentu saja sambil menatapku keheranan. 

       Aku mendengus. Pasti pria berusia pertengahan 20 itu adalah satu-satunya manusia yang dimaksud Cassio. Namanya salah satu diantara Sam, Sean, Err ... dan Seth kurasa. Ingatanku nggak sebagus para kutu buku yang doyan menyerahkan jiwa mereka pada ilmu pengetahuan.

        “Cassio membutuhkanmu di luar.” Kuarahkan ibu jari ke arah pintu masuk toko. Garis wajahnya memberitahuku, jika ia penasaran siapa gerangan cewek keren nan seksi yang berdiri di depannya. Barangkali ia hendak menggodaku atau apalah. Tapi tebakanku meleset. Pria ini membuat seluruh duniaku jungkir balik dengan serentetan kata berikutnya.

        “Kau pasti pegawai baru yang disebut Si Kembar, huh?” Ia berjalan melenggang melewatiku yang tergugu, "kalau begitu uruslah pembeli yang satu ini.”

         Pada detik itu aku menambahkannya ke dalam daftar 100 Orang Yang Paling Kubenci Sepanjang Masa. Urutan kedua setelah Cassio Archibald.


***

  
       Bayangkan laju kecepatan gerak Gary di kartun Spongebob, maka aku berani mengatakan bahwa matahari merangkak jauh lebih lambat dari siput merah muda itu—hingga posisinya tepat berada di atas ubun-ubun. Kipas angin yang berputar kencang hanya berhasil mendinginkan tubuhku, tapi tidak dengan emosi yang masih membara dan membakar habis kesabaranku.

        Semua bermula ketika lidahku melontarkan perkataan yang nggak kucerna terlebih dahulu. “Apa kau gila, Cassio? Toko sayur ini kecil, dan terletak di tengah pedesaan yang jumlah penduduknya hanya 0,8% penduduk California. Rasanya terlalu berlebihan jika kau sampai memiliki 2 pegawai di waktu yang bersamaan.”

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Where stories live. Discover now