13:: Ancaman putus

21.8K 5.8K 649
                                    

"Jangan putus yah, aku janji nggak kayak gitu lagi."

*****

Rani menatap sekeliling ruangan bercat putih dimana tempat itu akan ia jadikan sebagai restorannya kelak. Ide awalnya yang hanya ingin mendirikan kedai kecil ia ubah menjadi restoran. Itulah sebabnya, pengerjaan dan persiapannya mungkin akan membutuhkan waktu yang lama.

Rani memungut beberapa sampah plastik yang berserakan di lantai. Sejak jam 10 pagi tadi, ia sudah berada di sana untuk membersihkannya. Lokasinya tak jauh dari rumahnya, kurang dari 20 menit bisa ditempuh menggunakan angkutan umum.

Setelah menyapu lantai, Rani melanjutkan dengan mengepel hingga membersihkan debu pada kursi dan sofa yang ada di sana. Peluh membasahi pipi dan keningnya, namun Rani belum juga berhenti untuk beristirahat.

Suara ketukan pintu dari luar menghentikan gerakan tangan Rani mengelap kaca jendela, ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Pikirnya, itu mungkin abahnya yang datang untuk membantu. Ia segera membukakan pintu.

"Selamat siang jodohku," sapa Khalid penuh semangat. Ia tersenyum tiga jari, memainkan alisnya yang tebal bermaksud menggoda Rani. Ada dua buah kantong plastik yang ia tenteng di tangannya.

"Kok bisa tau aku di sini?" tanya Rani bingung. Namun, kedatangan Khalid tiba-tiba, cukup membuatnya sedikit senang.

"Tadi, aku ke rumah kamu, tapi kata Abah, kamu pergi. Jadi, Abah kasih alamat ini ke aku," jelas Khalid lalu menerobos masuk tanpa dipersilakan.

"Wah, bersih banget yah," decak kagum Khalid melihat sekeliling ruangan yang sudah Rani bersihkan.

Rani mengepalkan tangannya. Berjalan mantap ke arah Khalid dan langsung melayangkan tinjunya di pundak laki-laki itu.

"Aduh... Kamu kenapa sih sayang?" tanya Khalid bingung sambil memegangi pundaknya yang cukup sakit.

"Udah tau habis dibersihin, malah masuk pakai sepatu. Buka sekarang!" geram Rani menatap tajam ke arah kekasihnya.

"Apanya yang dibuka?"

"SEPATU KAMU!"

Khalid memegangi telinganya, tak sanggup mendengarkan teriakan kesal dari Rani. "Kirain buka yang lain," goda Khalid tak habis-habisnya meski Rani sudah teramat kesal.

"Buka sekarang atau leher kamu yang aku buka," ancam Rani.

"Iya, ini aku buka." Khalid menyengir lebar lalu jongkok membuka sepatunya. Keningnya mengernyit bingung saat melihat jejak sepatunya di lantai. Pantas saja Rani se-marah itu padanya. Bahkan jejak sepatunya itu seperti habis menapaki kaki di lumpur.

Setelah menaruh sepatunya di luar, Khalid kembali dan mendapati Rani yang dengan sabar kembali membersihkan jejak sepatu Khalid tadi. Khalid tersenyum lalu mengambil alih alat pel dari tangan Rani.

"Biar aku aja, Bundanya anak-anak duduk santai aja."

Rani terpaku sejenak memandangi Khalid yang mengepel dengan posisi yang sangat kaku. Tak mengindahkan lebih lanjut, ia menuju kursi yang ada dan menyandarkan punggungnya yang pegal.

Selang beberapa menit, Khalid sudah berdiri menjulang di hadapan Rani. Memamerkan senyum paling lebar, dan mengangkat kantong plastik yang ia bawa tadi.

"Aku bawain kamu back show," kata Khalid lalu mengambil kursi lain untuk meletakkan bawaannya.

Rani mengerutkan dahinya bingung. "Back show?" ulangnya karena tidak mengerti maksud Khalid.

"Iya." Khalid menunjukkan sebuah wadah plastik yang di dalamnya terdapat seporsi bakso yang ia beli sebelum menemui Rani.

"Ini namanya bakso, bukan back show." Rani geleng-geleng kepala namun tak urung ia mencicipi bakso dari Khalid.

Pemulung; Penggombal Ulung (Terbit)Where stories live. Discover now