05:: Belahan

26.2K 5.6K 937
                                    

"Belahan pantatnya di tengah kan?"

*****

Khalid menguap lebar saat matanya baru saja terbuka akibat cahaya matahari yang menyeruak melalu celah jendela. Ia memposisikan tubuhnya menjadi tengkurap. 

"Satu." Khalid mengangkat bokongnya membuat posisinya sekarang menjadi nungging. Melakukan gerakan itu berulang kali hingga ketukan di pintu kamarnya menghentikan aksinya.

"Ngapain kamu?" tanya Nares yang menatap anaknya dengan kening mengkerut.

"Lagi pemanasan, Pa."

Nares geleng-geleng kepala. "Mandi sana!"

Setelah mengatakan itu, Nares berlalu menuju lantai bawah, dimana sarapan yang telah dibelinya tadi sudah tertata rapi.

"Hoam!" Khalid melangkah gontai ke kamar mandi. Semalam, selepas ditinggalkan oleh Rani yang memilih pulang bersama Aksara, Khalid memutuskan untuk pulang ke rumahnya saja.

Di rumah minimalis itu, Khalid tinggal hanya bersama dengan Papanya. Ibunya telah meninggal sejak ia berumur 3 tahun dan Papanya-lah yang selama ini membesarkan Khalid seorang diri.

Khalid merenggangkan tubuhnya dan menguap lebar sekali lagi. Nyaman sekali tidur di kasur empuk di banding tidur di kontrakannya yang hanya beralas kasur tipis.

"Sarapan dulu, Lid," perintah Nares saat melihat anaknya itu hendak berangkat lebih dulu.

Khalid menghentikan langkahnya kemudian berbelok cepat ke arah dapur. Menarik kursi dan duduk bersama Papanya.

"Papa nggak bosan makan ini-ini mulu tiap hari?" tanya Khalid menyendokkan nasi uduk langganan Papanya.

"Nggak," jawab Nares singkat.

"Kalo Khalid mah udah bosan. Dari SD sampai mau wisuda, tiap pagi sarapannya nasi uduk Mbah Sajen mulu," dumel Khalid namun tak urung ia memakan nasi tersebut dengan lahap.

"Makan aja! Nggak usah banyak mengeluh. Masih syukur bisa sarapan tiap pagi," balas Nares bijak.

"Makanya Pa, cari istri dong! Tuh, tetangga baru kita, cantik. Nikahin aja."

"Jangan sembarang ngomong kamu," balas Nares sambil terus mengunyah makanannya.

"Mau sampai kapan Papa jadi duda? Nikah aja kali, Pa."

Nares geleng-geleng kepala. Seperti ada yang salah dari otak anaknya itu.

Khalid meletakkan sendoknya setelah memasukkan suapan terakhir di mulut. "Khalid serius, Pa. Janda di sebelah rumah tuh anaknya cuma satu. Kalau Papa nggak mau, mending Khalid aja deh yang embat."

"Kamu mau kasih makan apa?" tanya Nares.

"Sumber daya alam di Indonesia ini masih banyak, Pa. Asalkan sama-sama cinta, batu rebus aja bisa enak, tai ayam bisa rasa cokelat," canda Khalid.

Sekali lagi, Nares geleng-geleng kepala. "Pemikiran anak jaman sekarang. Emang cinta bisa bikin kenyang?" Nares bangkit dari duduknya, menyambar tas kerjanya di atas kursi lalu beranjak lebih dulu.

"Nggak bikin kenyang sih, tapi bikin sehat," jawab Khalid pelan.

"Kalau nyusu," imbuhnya lalu cekikikan.

"Astaghfirullah Khalid ganteng. Sadar woi! Nggak boleh ngomong gitu, ah," monolognya setelah sadar apa yang ia ucapkan.

Khalid bangkit dari duduknya dan membereskan meja makan sebelum berangkat.

"Lid! Mau ikut bareng Papa ke kampus?" teriak Nares dari luar rumah.

"Nggak! Mau naik Bluduk aja."

Pemulung; Penggombal Ulung (Terbit)Where stories live. Discover now