CC•47

130 18 4
                                    

Sejak malam itu Arkan menjadi asing bagi Fiona. Tidak ada lagi kejahilan atau candaan yang Arkan lontarkan. Pesan singkat pun juga tidak ada. Fiona merasa hampa, sangat tidak bersemangat untuk memulai hari.

Fiona sungguh tak mengerti di mana letak kesalahannya. Pernah Fiona bertanya, tapi Arkan bersikap seolah-olah dia tidak mendengarkan pertanyaan Fiona. Rasanya Fiona ingin marah, tapi ia takut kalau justru akan memperkeruh suasana di antara mereka.

Mau tak mau akhirnya Fiona mengalah. Di sekolah mereka benar-benar saling diam. Saat istirahat, jika biasanya Fiona dan Arkan duduk bersama, maka beberapa hari belakangan ini Fiona memilih untuk menjauh dari Arkan.

Entahlah, tapi Fiona merasa separuh dirinya ikut menghilang bersamaan dengan tingkah Arkan yang semakin dingin kepadanya. Hatinya kini terasa kosong, tidak ada gairah untuk apa pun. Fiona tidak mengerti mengapa ia jadi seperti ini. Seharusnya Arkan tidak memberi dampak yang cukup besar dalam hidupnya, namun mengapa sekarang ia seakan sudah terbiasa dengan segala tingkah laku Arkan?

Sementara itu di sisi Arkan sendiri, sebenarnya Arkan tidak mau mendiamkan Fiona seperti sekarang, tapi bagaimana lagi? Arkan juga tidak mau hatinya kembali ditolak bahkan sebelum ia mengungkapkannya.

Terhitung tiga hari sudah Arkan dan Fiona tidak bertegur sapa. Hari ini hari Jumat, seharusnya mereka akan pergi bersama ke Nusa Dua, namun sampai jarum jam menunjukkan pukul sebelas, kedua insan berlawanan jenis itu masih saja belum membicarakan rencana mereka sepulang sekolah nanti.

Bel istirahat kedua sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, jika biasanya Fiona pergi ke kantin untuk beli camilan, maka kini Fiona memilih duduk di kelas. Selain karena Arkan juga tidak ke mana-mana, Fiona sedang malas sekali hari ini. Jujur saja, Fiona sebenarnya memiliki secuil harapan agar Arkan kembali mengajaknya berbicara. Namun sepertinya itu hanya akan jadi angannya saja.

Di sampingnya kini Arkan justru sedang terlelap memunggungi Fiona dengan beralaskan tangannya. Fiona menghela napas berat, bingung harus berbuat apa agar hubungannya dengan Arkan bisa seperti sebelumnya.

Tiba-tiba ponsel Fiona yang tergeletak di atas meja bergetar beberapa kali, bersamaan dengan layarnya yang menyala. Tulisan Papa dengan emotikon hati muncul, membuat Fiona mengernyit heran.

"Halo, pa?" jawab Fiona kemudian seraya menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.

"Halo, nak ... nanti kamu ke Nusa Dua sama Arkan saja ya? Ini papa mendadak ada urusan kerja, jadi gak bisa ke sana. Gapapa kan, kalian berdua aja perginya?"

Sejenak Fiona mematung mendengar penjelasan ayahnya. Pergi dengan Arkan? Yang benar saja. Arkan kan sedang mendiamkannya, lalu bagaimana caranya ia memberitahu Arkan?

"Halo? Fiona, nak ... denger papa kan?"

Fiona mengerjap, lalu berdeham. "Eh, i-iya, pa ...."

"Ya sudah ... Perlu papa bilang gak ke Arkannya atau kamu yang bilang sendiri?"

"Gak. Gak usah," tolak Fiona cepat, "Fi-Fiona sendiri aja yang bilang ...."

Tanpa menaruh curiga sedikit pun, Aldi kemudian izin untuk mematikan telepon. Setelah panggilan dimatikan, Fiona kembali meletakkan ponselnya di atas meja.

Fiona mengambil napas dalam-dalam, gila saja jika ayahnya yang berbicara dengan Arkan, bisa ketahuan nanti kalau hubungan mereka sedang tidak dalam kondisi yang baik. Fiona malas kalau harus menceritakan apa yang terjadi, sebab dirinya sendiri juga tidak tau apa penyebab hubungannya dengan Arkan jadi jauh seperti sekarang.

Ah sudahlah, lupakan masalah itu. Kini yang Fiona pusingkan adalah bagaimana caranya mengatakan pada Arkan kalau nanti ia nebeng ke Nusa Dua. Rasanya Fiona canggung untuk memulai obrolan lebih dulu setelah sekian lama, tapi kalau tidak bilang, masa nanti ia tiba-tiba langsung duduk di motor Arkan? Aneh pasti.

Cerewet Couple [E N D]Where stories live. Discover now