CC•44

130 22 4
                                    

Fiona berjalan lambat memasuki kelasnya. Hari ini Fiona sangat tidak bersemangat. Kemarin ayahnya berkata jika mereka berdua, beserta Arkan juga, akan mengunjungi sekolah lama Fiona, yaitu SMA Nusa Dua. Bukan untuk bernostalgia, melainkan mengusut kasus Fiona yang sebenarnya tidak diperlukan.

Fiona menghela napas berat sembari menarik kursi dan meletakkan ranselnya di bawah meja. Fiona duduk, lantas menoleh pada Arkan yang tampak tertidur pulas. Dalam hati Fiona mendengkus kesal. Teman sebangkunya itu terlihat menjengkelkan sekali hari ini. Ia datang dengan suasana hati yang tidak baik, bukannya ditunggu tapi dia malah asik-asikan tidur.

"Ar." panggil Fiona kemudian membangunkan Arkan sedikit tak bersahabat.

Tidak ada jawaban ataupun gerak-gerik tubuh Arkan yang merespon panggilan Fiona.

Fiona berdecak pelan. "Ar ...." panggilnya untuk kedua kali.

Namun lagi-lagi Arkan masih saja pulas dalam mimpinya. Fiona pun akhirnya menggoyang bahu Arkan dengan kuat sampai beberapa kali.

"Ar!" Fiona sedikit berseru.

Detik itu juga lah Arkan mengangkat kepalanya. Arkan mengucek kedua matanya, menatap Fiona dalam keadaan yang masih setengah sadar.

"Udah masuk, Pio-pio?" tanya Arkan dengan suara serak, khas orang bangun tidur.

Fiona berdecih. "Bangun juga lo akhirnya, gue kira udah mati." sengit Fiona.

Arkan tercengang mendengar perkataan Fiona barusan. Netranya yang sebelumnya masih menyipit langsung terbuka lebar. Kesadarannya pun akhirnya terkumpul sempurna.

Arkan memandang Fiona yang duduk menghadap papan tulis. Bibir gadis itu mengerucut ke depan, netranya tampak redup, tidak seperti biasanya. Aura Fiona sangat terasa perbedaannya. Dalam sekali tebak saja Arkan tau, teman sebangkunya itu keadaannya sedang tidak baik-baik saja.

Kondisi seperti ini, Arkan memilih mengalah. Arkan tidak mau memperkeruh suasana hati Fiona yang sudah buruk. Dengan penuh kelembutan, Arkan meraih dagu Fiona, membuat gadis itu bertatapan dengannya.

"Lo kenapa, hm? Siapa yang buat lo gak mood?"

Fiona melepaskan tangan Arkan dari dagunya, lantas memutus pandangan mereka dan menggelengkan kepalanya. "Gak. Gue gak kenapa-napa."

"Jangan bohong, Pio-pio. Gue tau lo lagi badmood. Kenapa sih?" tanya Arkan penasaran.

"Siapa yang bohong coba? Orang gue beneran gak kenapa-napa." elak Fiona tetap tidak menatap Arkan.

Arkan menghela napasnya untuk terus sabar. "Pio-pio, gue tanya sekali lagi, lo kenapa? Kalau ada masalah cerita sama gue, siapa tau gue bisa bantu. Gue gak mau lo pendam sesuatu sendirian, Pio-pio."

"Gue gak kenapa-napa, Ar!" Fiona berdecak, kali ini sambil menoleh menatap Arkan sengit.

Alih-alih membalas kemarahan Fiona, Arkan justru tersenyum lebar. Arkan lalu meraih tangan Fiona. "Mau gue cium di depan temen sekelas, atau mau cerita ke gue sekarang?"

"HAA?!" pekik Fiona cukup keras, sampai membuat seisi kelas menatapnya bingung. "Maaf-maaf, gue gak maksud kagetin kalian." ujar Fiona kemudian pada teman sekelasnya.

Setelah teman-temannya kembali dengan kesibukan mereka, Fiona menatap Arkan jengkel. Fiona menghempaskan tangannya yang masih dalam genggaman Arkan.

"Lo gila ya!" geram Fiona.

Arkan terkekeh. "Gapapa gue gila, daripada gue stress mikirin lo yang gak mau cerita ke gue." balas Arkan santai sembari menjulurkan lidahnya. "Jadi sekarang gimana? Masih gak mau cerita? Gue tarik ke depan kelas nih."

Cerewet Couple [E N D]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt