Fiona mencebik. "Iyaa udah iyaa, gue cerita sekarang." dengus Fiona sebal dan Arkan pun tersenyum penuh kemenangan.

"Kemarin gue udah jelasin semuanya ke bokap, terus bokap gak terima. Hari ini rencananya bokap mau ke sekolah lama gue, ngusut kasusnya ke kepsek. Kalau Raka sama Reihan gak dapet hukuman yang adil, bokap mau nuntut sampe ke kepolisian."

"Haa?" Arkan tidak tau harus merespon bagaimana, dirinya cukup terkejut saat ini.

Arkan teringat dengan ucapan ayahnya Fiona saat di telepon waktu itu. Ternyata benar, beliau akan menuntut kasus ini demi putrinya. Astaga, pantas saja jika Fiona tampak lesu pagi ini.

"Nanti istirahat kedua bokap bakal ke sini. Jemput lo ama gue buat ke Nusa Dua."

"Gue?" Arkan menunjuk dirinya sendiri, bingung dengan maksud perkataan Fiona.

Fiona mengangguk. "Bokap minta lo jadi saksi. Lo mau gak?"

Arkan menggaruk pelipisnya. Bagaimana sekarang? Haruskah ia menolak? Tapi rasanya tidak mungkin ia menolak. Pada saat kejadian kan memang dirinya ada di tempat, dan dirinya juga lah yang mengetahui rencana Reihan itu.

Arkan menghela napasnya. "Ya udah deh, gapapa. Demi lo gue juga mau pelakunya dapat hukuman. Biar mikir-mikir lagi kalau ke depannya mau ngulang kesalahan yang sama."

"Ya udah. Puas kan lo sekarang? Itu yang buat gue gak mood." Fiona melirik Arkan sebal lalu mengalihkan tatapannya pada papan tulis di depan.

Dari samping Arkan terkikik geli. Fiona kembali mengerucutkan bibirnya ke depan. Gadis itu benar-benar menggemaskan jika sedang cemberut.

Pio-pio, Pio-pio, masalah gitu kok badmood sampe marah-marah ... padahal kan tinggal bilang gue, "Ar, ntar kita berdua ke Nusa Dua, bareng bokap juga buat ngusut kasus kemarin," nah, gitu kan, selesai.

Suara pikirannya itu membuat Arkan mengulum senyumnya sembari menggelengkan kepala mengingat tingkah Fiona beberapa menit yang lalu. Tapi jika dipikir-pikir, pikirannya benar juga. Fiona kan bisa tinggal bilang seperti itu, mengapa harus marah-marah lebih dulu?

Apa ada hal lain yang ganggu Pio-pio ya? Pikiran Arkan kembali bersuara.

"Eh, Pio-pio, tapi ya gue masih bingung. Lo kan bisa tuh ngomong ke gue tanpa marah-marah, terus kenapa tadi kayak emosi banget? Padahal kan gue juga udah nanyain lo baik-baik awalnya, kenapa lo nya kayak sewot gitu? Apa gue salah sesuatu?" tanya Arkan akhirnya menyuarakan isi kepalanya.

Fiona menoleh sekilas ke Arkan. "Niatnya gitu, tapi salah sendiri lo tidur. Buat gue jengkel aja."

"Haa?" Arkan mengangkat satu alisnya tak mengerti.

Fiona mendengkus. "Makanya jangan tidur mulu. Lo kan tau alasan bonyok gue balik. Terus kenapa kemarin gak tanya gimana? Hari ini juga, ketemu di sekolah malah lo tidur. Harusnya kan lo nunggu gue dateng, terus tanya." oceh Fiona panjang lebar.

Untuk beberapa menit Arkan terdiam mencerna semua keluhan Fiona tentang dirinya dengan seksama. Satu hal yang Arkan sadari kemudian. Senyum lebar pun mengembang sempurna di wajah tampannya.

Tepat ketika bel masuk berbunyi, Arkan mencondongkan tubuhnya ke Fiona lalu berbisik, "Makasih ya, udah buat gue sadar kalau dua hari ini gue kurang merhatiin lo. Makasih juga udah mau jujur kalau lo butuh perhatian dari gue."

Detik itu juga, giliran Fiona yang membeku di tempat dengan debaran jantung yang sudah tidak lagi terkontrol.

---

Cerewet Couple [E N D]Where stories live. Discover now