67

11 1 0
                                    

Setelah agen suruhan Gigar mati ditangan Sabrina, para polisi semakin berhati-hati, tak hanya itu, mereka jadi saling mencurigai satu sama lain.

Selain meracuni Theo, meneror keluarga Amardi, dan membunuh, pihak berwajib belum menentukan hukuman untuk Sabrina, karena saat ini status Sabrina adalah saksi sekaligus jalan menuju kasus ini. Gadis itu bisa membawa polisi menemui Gigar.

Polisi mencari Gigar di rumahnya, apartemennya, dan juga mansion Mahali, tapi mereka tidak menemukan pria itu.

Tuan Mahali tidak memberikan kesaksian, karena dia juga tidak tahu apa-apa. Saudara-saudara Gigar tidak ada yang mau memberikan kesaksian.

"Sudah kubilang, gadis itu akan menjadi masalah," kata Berline sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Karena Covid-19 sedang menjadi pandemi di Indonesia, para polisi melakukan investigasi sesuai prosedur kesehatan. Semuanya menjadi serba terbatas dan sulit.

Sabrina sangat kecewa dengan kinerja para polisi dan agen yang disewa Martin Amardi. Gadis itu tidak mengira Gigar akan menghilang bersama Leva. Dia benar-benar tidak tahu, kemana perginya mereka berdua.

"Jika mereka pergi ke luar negeri, mereka pasti bisa dilacak, karena mereka pasti menggunakan bandara untuk naik pesawat." Sabrina memutar otak liciknya.

"Semua rumah Gigar kosong, apartemennya juga... apa dia punya rumah lain?"

Sementara itu, Gigar mengajak Leva berjalan-jalan mengelilingi pulaunya. Pria itu menyetir mobilnya sementara Leva duduk di sampingnya melihat ke luar jendela.

"Ada sebuah gereja yang sengaja aku bangun. Ibuku sangat religius, ketika aku mendapatkan pulau ini, ibu menyuruhku membangun gereja terlebih sebelum mansion itu."

Mereka pun tiba di gereja yang dimaksud. Keduanya memasuki gereja dan disambut baik oleh pengurus gereja, bapa gereja, dan yang lainnya. Leva merasa nyaman berada di tempat itu. Dia berdiri di depan sambil menautkan kesepuluh jemari tangannya. Gadis itu berdo'a dengan khusyuk.

Gigar menyentuh kalung salib yang selalu melingkar di lehernya. Kalung pemberian Leva yang tidak mungkin dia lepaskan. Pria itu menggenggam salib tersebut sambil menutup mata dan berdo'a.

~

Brillian berdiri di balkon kantor. Pria itu menurunkan maskernya sambil melihat ke jalanan yang agak sepi.

"Leva, apa kau baik-baik saja? Maafkan aku. Aku benar-benar kakak sialan yang tidak bisa menjagamu." Brill menangis. Dia sangat menyesal.

Brill masih ingat saat Theo pulih dari sakitnya, anak itu berkata, "Ayah, kami tidak terlalu dekat dengan Aunty Leva, tapi Aunty adalah orang yang baik. Dia sudah menolongku. Ayah kakaknya bukan, tolong bawa kembali Aunty ke rumah kita."

Granny yang jatuh sakit juga meminta hal yang sama. "Sejak kecil dia tidak pernah meminta apa pu meskipun dia menginginkan sesuatu. Dia selalu memendam keinginannya. Keluarga kita tidak pernah dekat satu sama lain, karena terlalu memikirkan kepentingan pribadi. Leva dewasa tanpa pengawasanmu, Martin. Dia juga tidak memiliki teman bermain, karena lingkungan dan usianya berbeda denganmu, Brillian. Jika kalian tidak segera mendapatkan Leva, dia akan merasa lebih nyaman dengan orang yang menculiknya."

Brill mengacak rambutnya frustasi.

~

Tuan Mahali sedang berbicara dengan keenam anaknya, ada Viviane dan Andrew juga di antara mereka.

Tuan Mahali terlihat sedih. "Aku tidak mengira ini akan menjadi masalah. Mau bagaimana pun juga, Gigar tetap bersalah di sini."

"Halah, sepertinya anak Amardi itu juga senang diculik Gigar," kata Berline.

Carline mengompori, "Bisa jadi Gigar menculik Leva, karena Leva yang memintanya."

Kent yang tahu segalanya memilih diam.

Berline kembali bicara, "Gigar tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ini mempermalukan keluarga kita."

"Apa pun alasannya, Gigar tetap salah, dia sudah menculik Leva. Aku pikir, jika Leva mau bersama Gigar, kenapa Gigar harus menculiknya?" Dexter yang netral membuka suara.

Andrew menggeleng pelan. Dia memanas-manasi suasana, "Ini benar-benar melukai harga diri keluarga besar kita."

"Leva benar-benar lebih menyebalkan dibandingkan Sabrina ternyata, ya." Carline melipat kedua tangan di depan dada.

"Apa kalian tahu faktanya? Apakah kalian yakin, Leva yang salah?" Viviane yang sedari tadi diam pun mengeluarkan suaranya.

Austin, Micheline, dan Kent yang belum bicara pun menoleh padanya.

"Kalian baru bertemu Leva sekali, dan kalian sudah berpikir banyak tentangnya. Dia bahkan belum pernah bicara secara langsung dengan kalian, apa kalian tahu seperti apa wataknya?" Viviane mengeluarkan semua yang selama ini dia pendam.

"Kami sudah tahu walau hanya dengan melihatnya sekali," ujar Carline dengan sinis.

"Keluarga Amardi tidak memiliki apa yang keluarga Mahali miliki," Berline ikut menimpali.

"Keluarga Amardi memiliki apa yang mereka miliki, begitu pun dengan keluarga Mahali," sanggah Viviane.

"Kak Vivi bilang begitu, karena Kakak berasal dari keluarga Danuarga," ucapan Berline terdengar menusuk.

"Berhenti," perintah Tuan Mahali.

Semua mata tertuju pada pria nomor satu di rumah itu.

"Siapa pun di antara kalian yang tahu di mana keberadaan Gigar, lebih baik katakan padaku dari sekarang. Aku akan menghapus nama Gigar dari keluarga besar Mahali. Dan jika ada salah satu di antara kalian yang membantunya di belakangku, dia juga akan aku hilangkan dari keluarga ini." Berakhirnya kalimat itu, Tuan Mahali pergi meningalkan ruangan.

Kent benar-benar cemas. Dia harus segera menghubungi adiknya.

❇❇❇

06.23 | 28 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Where stories live. Discover now