Bel apartemen Gigar berbunyi. Pria bertato itu segera mengambil kaos dan berlalu ke pintu sambil memakai kaosnya. Pintu pun dibuka. Gigar melihat Leva yang tampak kacau. Kedua mata gadis itu sembab dengan sisa air mata yang berlinang.

"Why?" Suara Leva terdengar bergetar.

Gigar tidak menjawab.

Leva menggenggam tangan Gigar. "Aku tidak pernah mempermasalahkan masa lalumu, aku selalu menganggapmu sebagai satu-satunya pria yang bisa aku percayai saat ini. Kenapa kau menghilangkan semua kenangan Lingga?"

Gigar masih tidak menjawab.

"Aku mohon, kembalikan barang-barangku. Itu sangat berarti. Aku berjanji tidak akan membahas Lingga lagi. Aku berjanji akan menjadi pacar yang lebih baik. Aku mau menurut padamu."

Bukannya merasa senang, karena Leva memohon, Gigar malah semakin cemburu. Di matanya, Leva sangat memperlihatkan rasa cinta dan rasa kehilangannya terhadap Lingga. Itu membuat Gigar semakin sakit. Leva mau melakukan apa pun demi barang-barang kenangan dari Lingga, itu membuktikan jika posisi Lingga selalu menjadi yang utama di hati Leva.

"Gigar... aku mohon."

"Barang-barang Lingga sudah tidak ada."

Leva kembali menangis. Dia mengguncangkan lengan Gigar. "Kau tidak menghilangkannya, kan? Kau hanya menyembunyikannya dariku, kan?"

"Barang-barang itu yang membuatmu bermimpi buruk, Leva. Aku sudah membakar semuanya."

Leva menangis dalam diam. Dia menunduk. Gigar tidak tega juga. Pria itu memeluk Leva.

"Ayo, kita pergi dari sini. Mungkin mimpi buruk itu tidak akan mengikutimu lagi jika kau berpindah tempat."

Gigar ada benarnya. Selama di Jerman, Leva jarang bermimpi buruk. Mungkin Gigar benar, barang-barang Lingga yang membuatnya tidak bisa tidur dan kerap bermimpi buruk.

"Masuklah."

~

Gigar melihat Leva sedang memasak, tapi tatapannya kosong. Karena khawatir, pria itu menghampiri gadis itu dan membantu sebisanya.

"Kalau kau lapar, aku akan memesan makanan," kata Gigar dengan lembut.

Leva menoleh pada Gigar. Dia hanya tersenyum. "Tidak apa-apa, jika aku masih bisa memasak, aku akan tetap melakukannya untukmu."

Hati Gigar bergetar mendengar jawaban Leva.

Leva kembali memfokuskan diri pada masakannya. "Sudah dua kali kau bilang tentang pernikahan. Aku harus menjadi istri yang baik, kan?"

Gigar tersenyum hangat. Pertama kalinya Leva melihat senyuman tulus pria itu. Dia juga tersenyum.

"Malam ini menginaplah." Gigar berlalu.

Leva tampak berpikir.

Setelah makan malam, Gigar menyuruh Leva untuk tidur di kamarnya. "Apartemenku hanya memiliki satu kamar, jadi kau tidur di kamarku."

Leva terkejut. "A-apa?"

Gigar menjelaskan, "Maksudku kau yang tidur di kamarku dan aku akan tidur di ruang tengah."

"Oh." Leva mengalihkan pandangannya karena malu sempat berpikir yang bukan-bukan.

"Atau... kau mau tidur denganku?" Gigar menatap Leva dengan tatapan provokasi.

"Tidak, tidak."

"Jika kau tidur bersamaku, pagi harinya tubuhmu sudah tidak utuh lagi, rasanya pasti sakit, dan kau tidak akan bisa berjalan." Setelah berkata begitu, Gigar berlalu menyimpan piring bekas makan mereka.

Leva merinding mendengarnya, ternyata Gigar cukup frontal mengatakan hal vulgar seperti itu.

Gigar kembali ke ruang makan untuk mengambil minum. Dia melihat Leva bergegas keluar dari ruang makan. "Selamat malam."

Gigar hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya.

Karena banyak novel di kamar Gigar, Leva menyempatkan diri untuk membaca beberapa buku. "Buku romance, seharusnya dia bisa menjadi pria yang romantis, jika semua buku ini pernah dibacanya."

Setelah menghabiskan beberapa halaman, rasa kantuk pun mulai datang. Leva menguap kecil lalu merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.

Sementara itu, Gigar sedang menonton TV di ruang tengah. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Gigar merasa bosan. Dia mematikan TV-nya. Pria itu pun merebahkan tubuhnya di sofa bed.

Tapi, dia mendengar suara Leva dari kamar. Gigar beranjak menuju kamarnya. Ketika memasuki kamar, dia melihat Leva menggeliat di atas tempat tidur sambil menangis.

"Jangan ganggu aku... aku mohon...."

Gigar mendekat dan mengguncangkan tubuh Leva agar bangun, tampaknya Leva tidak bisa membuka matanya.

"Leva, bangun." Gigar mengusap keringat yang membanjiri wajah Leva.

"Hhhh...." Leva seperti sedang menahan sakit yang amat mendalam.

Gigar tidak tega melihat Leva yang kesakitan. Tiba-tiba Gigar berkata, "Lingga, aku mohon jangan ganggu Leva, jika kau mencintainya, kau tidak akan melakukan ini."

"Aaaarrrggghhhhh!" Leva berteriak kencang.

"Lingga, kau sudah mati... kau tidak bisa lagi bersama Leva. Biarkan dia bahagia bersamaku." Lagi-lagi Gigar berbicara seolah-olah dia melihat Lingga yang sedang mengganggu Leva.

"Khrsssskkksshhh." Suara tawa yang dalam itu terdengar jelas di telinga Gigar, tapi tak lama kemudian Leva kembali tenang.

Gigar menarik selimutnya untuk menutupi tubuh Leva. Pria itu tidak ingin meninggalkan Leva, jadi dia tidur di samping gadis itu. Jadinya Gigar yang tidak bisa tidur.

Leva bergulir dan memeluk leher Gigar. Pria itu menoleh ke arah Leva. Wajahnya begitu dekat.

"Meskipun sedang tidur, kau masih sempat menggodaku." Gigar mengecup bibir Leva sekilas lalu membalas pelukan gadis itu.

❇❇❇

18.11 | 23 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Where stories live. Discover now