Keringat dingin membasahi wajah Leva yang tengah tertidur pulas. Gadis itu mengerutkan keningnya tanpa membuka mata. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Tampaknya dia sedang bermimpi buruk. Dia ingin membuka matanya, tapi sungguh sulit. Kedua matanya tidak bisa dibuka.

"Hhhhhh." Kedua tangan gadis itu meremas sprei. Kakinya menendang-nendang. Hingga sebuah buku jatuh ke lantai, karena tidak sengaja ketendang.

Mendengar suara gedebuk, kedua mata Leva terbuka. Berkat suara, dia bisa membuka matanya. Leva melihat buku yang dia tendang di lantai. Gadis itu bangkit dan mengelap keringatnya. Bajunya sudah basah oleh keringat.

Leva mengatur napasnya. Jam di dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Leva menghela napas panjang lalu kembali menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dia menatap langit-langit kamar.

"Sampai kapan mimpi buruk ini akan berakhir? Aku tidak bisa menghindari mimpi yang sama, jika aku terus bertemu Gigar."

Gadis itu mengambil ponselnya. Dia mengutak-atik benda persegi berwarna putih itu. Sampai jam 4 pagi, Leva tidak tidur lagi. Dia akan kesulitan tidur, jika sudah bermimpi buruk dan bangun tengah malam seperti itu. Jadi, dia hanya memainkan ponselnya sejak dia bangun.

Setelah merasa bosan, Leva meletakkan ponselnya ke meja. Dia beranjak menuju dapur dan meminum air dingin. Leva melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi.

Dia pun memasak sesuai dengan rencana kemarin. "Semoga Gigar menyukainya."

Setelah masakannya matang, Leva pun bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Dia memakai pakaian sederhana. Kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih dan jeans hitam. Dia menguncir bagian atas rambut pendeknya.

Dengan rambut barunya, Leva merasa lebih nyaman. Gadis itu membawa kotak bekal berisi masakannya kemudian pergi menyetop taksi menuju kantor cabang Amardi.

Sesampainya di kantor, pandangan para karyawan padanya masih sama. Leva tidak memperdulikan itu, toh nantinya mereka akan menjadi bawahan dia.

Mood Leva sedang baik hari ini. Dia sampai di depan pintu ruangan Gigar. Gadis itu mengetuk pintu tersebut.

"Masuk," suara Gigar dari dalam.

Leva membuka pintu dan melihat Gigar sedang fokus dengan komputernya. "Ah? Hari ini kau sedang serius, ya? Apa aku mengganggumu?"

"Tidak, tidak, justru aku sengaja serius seperti ini, karena ada kau. Maksudku, aku sedang meringkas penjelasanku nantinya." Gigar tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari layar.

Leva merasa ambigu dengan jawaban pria itu.

"Kemarilah." Gigar menggerakkan tangannya. Leva menghampiri pria itu dan melihat ke layar.

Dengan jarak sedekat itu, Leva bisa menghirup aroma maskulin dari tubuh Gigar. Pria itu menoleh pada Leva. Dia melihat Leva dari atas sampai ujung kaki. Leva juga melihat pada dirinya sendiri.

"Apa ada yang salah?"

"Kau tidak memakai kemeja dan rok?" Tanya Gigar.

"Aku tidak biasa dengan pakaian itu, tapi nanti aku akan memakainya saat mengurus kantor ini."

"Oh, ya sudah, sekarang...." Gigar tidak melanjutkan kata-katanya, karena sekretarisnya tiba-tiba masuk.

"Tuan Maha...." Sekretaris Gigar terkejut melihat keberadaan Leva. Dia melirik sinis pada Leva.

"Kau lupa caranya mengetuk pintu?" Gigar tampak kesal.

"Ma-maafka saya. Tuan Mahali, bagaimana dengan briefing mingguan kita?"

"Tunggu sebentar, ada hal penting yang harus aku lakukan. Kau pergi duluan." Perkataan Gigar terdengar seperti mengusir.

Perempuan itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Siapa dia?" Tanya Leva.

"Awalnya dia sekretarisnya Brill, sebelum aku di sini. Namanya Kania. Kalian belum berkenalan? Bukankah nantinya kalian akan sering bertemu? Dia akan menjadi sekretarismu."

Leva tampak berpikir.

Gigar beranjak dari kursinya. Pria itu menekan bahu Leva agar duduk di kursi tersebut. Kursi yang memang seharusnya menjadi milik Leva. Pria itu mendorong kursinya agar Leva bisa lebih dekat ke komputer. Tangannya melingkar ke kursi, otomatis wajah mereka berdekatan.

Leva melirik sesaat pada pria itu. Gigar menjelaskan dengan rinci, apa saja tugas Leva nantinya. Gadis itu mendengarkan dengan baik.

Leva tersenyum. "Terima kasih penjelasannya."

Melihat senyuman Leva, Gigar juga tersenyum. "Apa penjelasanku tidak seburuk Brill?"

Leva menggeleng. "Penjelasanmu lebih singkat, tapi mudah dimengerti."

Gigar melirik kotak bekal yang ada di sofa. "Itu untukku?"

Leva mengangguk. "Iya, tapi kau harus briefing, kan?"

"Aku lapar, tidak sempat sarapan." Gigar memasang ekspresi sedih. Leva beranjak dari kursi kebesarannya dan mengambil kotak bekal tersebut.

Gigar menyeret kursi lain ke dekat kursi kebesaran bos. Dia memilih duduk di sana.

"Kenapa tidak duduk di kursimu?" Tanya Leva.

"Kau pemilik kursi itu, Nona Amardi." Gigar menerima kotak bekal tersebut.

Leva kembali duduk di kursi bos.  "Apa kau yakin, tidak akan ikut briefing?"

"Tidak apa-apa, aku punya tamu istimewa." Gigar membuka kotak bekal tersebut.

Leva menggeleng kecil setelah mendengar Gigar menyebutnya tamu istimewa.

Ada nugget, bakso, rissole, dan olahan sayuran ala Leva. Gigar mengambil sayuran sebagai hidangan pertamanya. Berbeda dengan Lingga yang biasanya akan memiliki nugget yang pertama dia makan.

"Apa ini makanan khas Jerman?" Tanya Gigar.

"Aku tidak tahu, tapi aku memang belajar mengolah sayuran itu dari my granny."

"Lezat sekali, kau pandai memasak." Gigar menghabiskan sayurannya.

Pria itu mengambil rissole dan menyodorkannya pada Leva. Gadis itu menerima suapan Gigar.

"Terima kasih," kata kata Leva.

"Tidak, aku yang harus berterima kasih padamu. Terima kasih, Leva."

❇❇❇

14.49 | 11 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Where stories live. Discover now