Gigar selesai mandi. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Pria itu menyentuh ukiran nama Billeva di dada kirinya.

"Kau benar-benar pria jahat, Gigar."

Setelah mengatakan itu, Gigar memakai pakaian rumahan. Dia pergi ke kamar Leva. Pria itu melihat Leva sudah bisa duduk.

"Mana cemilannya?" Tanya Leva.

"Kau masih lapar?" Gigar duduk di samping Leva.

"Iya."

Gigar mencubit pipi Leva. "Meskipun kau kurus, ternyata kau banyak makan, ya."

"Kurus? Aku kurus?" Leva melihat badannya sendiri.

Gigar tersenyum jahil. Tentu tidak, kau sangat seksi, Sayang.

"Iya, kau kurus."

Leva cemberut. "Mana cemilannya?"

Gigar memberikan sekeranjang cemilan. Leva sangat senang. Pria itu membukakannya untuk Leva. Gigar memperhatikan Leva dengan begitu lembut.

Merasa diperhatikan, Leva menoleh pada pria itu. "Kenapa melihatku seperti itu?"

Gigar menjawab, "Aku senang kau di sini bersamaku."

Leva mencerna ucapan Gigar. Dia berhenti mengunyah cemilannya lalu murung. Gigar menyentuh dagu Leva.

"Kenapa?" Tanya Gigar.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Terakhir kali aku bertemu Sabrina dan ada seseorang yang membiusku."

Ekspresi Gigar berubah serius. "Tidak perlu dipikirkan, semuanya sudah berlalu. Tapi, Sabrina entah kemana. Dia tidak bisa dilacak polisi. Makanya aku membawamu ke rumah yang ini, agar kau aman bersamaku."

Leva memeluk Gigar. "Maafkan aku."

Gigar mengernyit. Pria itu membalas pelukan Leva. "Kenapa meminta maaf?"

"Aku selalu membuatmu berada dalam masalah," tangis Leva.

Gigar merasa sakit dengan ucapan Leva. Pria itu mengeratkan pelukannya. "Tidak, kau tidak pernah membuatku berada dalam masalah. Aku yang selalu membuatmu berada dalam masalah."

"Terima kasih kau sudah ada untukku." Leva melelapkan kepalanya ke dada Gigar.

Maafkan aku, Leva.

~

Brill dan Martin sibuk sedang berangkat menuju kantor. Selama dalam perjalanan, mereka berdua membicarakan tentang Leva.


"Entah kenapa, aku curiga pada Gigar," ujar Brill.

"Apa yang membuatmu mencurigainya? Jelas-jelas dia membantu kita mencari Leva. Dia juga panik, saat mengetahui Leva menghilang." Martin tidak setuju dengan pendapat putranya.

"Bisa jadi selama ini dia yang menculik Leva. Bukankan keluarga Mahali memang licik." Brill masih mencurigai Gigar.

"Apa untungnya buat Gigar, jika iya dia menculik Leva?" Tanya Martin.

"Ya, aku tidak tahu."

"Aku yakin, Sabrina yang melakukannya, karena dia ingin kembali bersama Gigar. Bukankah itu satu-satunya alasan yang masuk akal?"

Brill tidak merespon.

~

Gigar berada di kantornya. Dia fokus pada layar komputer, meskipun pada kenyataannya dia tidak bisa fokus. Tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Sonta Gigar menoleh, ternyata Kent.

"Bagaimana keadaan pacarmu? Dia sudah siuman?" Kent duduk berhadapan dengan adiknya.

Gigar hanya mengangguk.

"Aku sudah menyiapkan jet untukmu," ujar Kent.

Gigar mengernyit, tapi tidak mengatakan sepatah kata pun untuk bertanya.

"Kau sudah membicarakannya dengan Leva?" Kent yang bertanya.

Bukannya menjawab, Gigar malah bertanya hal lain, "Jika aku dan Leva pergi ke pulau itu, apa tidak akan ada yang mencurigaiku?"

"Covid-19 sedang mewabah. Kau bisa menjadikan itu sebagai alasan. Aku yakin, kau cukup pandai membuat alasan."

Gigar mengangguk. "Aku membutuhkan sedikit waktu untuk meyakinkan Leva."

Kent menganggukkan kepalanya. "Apa Sabrina belum ketemu?"

Gigar mengedikkan bahunya.

"Jika kau menemukan dia, jangan ragu... habisi dia, atau dia akan menjadi masalah lagi."

Gigar mengangguk paham.

Seseorang mengetuk pintu. Kedua pria Mahali itu menoleh. Sekretaris Gigar berdiri di ambang pintu.

"Tuan, Tuan Amardi ingin menemui anda."

Gigar mengangguk. Kent dan Gigar saling pandang. Brill memasuki ruangan.

"Selamat siang," sapa Brill sambil melirik Kent sesaat.

Gigar mempersilakan Brill untuk duduk. "Selamat siang."

"Perkenalkan, ini kakakku, Kent Mahendra Putra Mahali." Gigar memperkenalkan Brill dengan Kent.

Kedua pria itu bersalaman. "Senang bertemu denganmu."

Kent menepuk bahu Brill. "Aku ikut sedih, mendengar kabar menghilangnya Leva. Meskipun kami belum pernah bertemu, Gigar banyak menceritakan Leva, dia gadis yang sangat baik."

Brill mengangguk lemah.

"Setiap hari Gigar mencemaskan Leva. Dia tidak pernah pulang ke rumah dan menyendiri di apartemennya. Dia lebih banyak berhubungan dengan orang-orang kepercayaannya yang bertugas mencari Leva."

Brill mengerti. Dia tidak merespon. Ekspresinya benar-benar suram. "Sebenarnya aku dan Leva tidak pernah dekat dari kecil. Kami sering bertengkar, bahkan sampai dewasa. Aku benar-benar menyesal atas segalanya."

Gigar melirik Kent dan Brill bergantian.

Brill menggeleng. "Tidak apa-apa, masalah Leva kita bicarakan di luar kantor. Aku kemari ingin bilang, kalau aku tidak bisa sering mengadakan pertemuan klien. Mungkin kau mengerti, Gigar, saat ini pandemi corona sedang menjadi masalah di Indonesia."

Gigar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku tahu, aku juga tidak bisa sering keluar rumah lagi dalam keadaan seperti ini. Kami juga harus memikirkan kesehatan para karyawan."

Brill mengangguk.

❇❇❇

14.59 | 25 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora