50. Burned

3 0 0
                                    

'''If I could go with you in the dream, I would continue to sleep forever.'''

_Billeva Manuella Amardi_

❇❇❇

Hari berlalu seperti biasa. Entah itu Gigar atau Leva, keduanya melakukan aktifitas masing-masing. Sesekali mereka bertemu dan jalan-jalan.

Sepertinya rasa cinta Leva semakin bertambah untuk Gigar. Kebahagiaan Leva telah kembali, itu karena Gigar.

Sore ini Gigar pergi memangkas rambutnya. Lalu dia pergi ke apartemen Leva. Ketika Leva melihat penampilan baru pacarnya, dia sangat terpesona.

Rambut Gigar sekarang pendek. Warna kecoklatannya tidak pudar. Pria itu tampak lebih tampan dan rapi.

"Gigar?"

"Kenapa menatapku seperti itu?" Gigar mendekatkan wajahnya.

Leva mengalihkan pandangannya dengan pipi memerah seperti tomat.

Gigar menarik pinggang Leva agar mendekat padanya. "Sebenarnya aku sangat menyayangi rambutku, tapi mungkin rambut panjangku membuatmu takut padaku."

Leva menggeleng. "Tidak, aku tidak pernah menyalahkan rambutmu."

Gigar tersenyum. "Berikan aku ciuman."

Leva berpikir sejenak lalu dia berjinjit dan mengecup bibir Gigar sekilas.

"Aku mencintaimu," kata Gigar.

Leva tersenyum. "Aku tahu, aku juga."

Gigar memeluk tubuh mungil Leva dan mengangkatnya. Leva berpegangan pada pundak Gigar.

"Kau mau menikah denganku?" Tanya Gigar.

"Aku harus memikirkannya."

"Kenapa?"

"Aku takut... kau bosan padaku setelah menikah."

Gigar mencerna ucapan Leva. "Aku tidak akan bosan padamu. Kau memiliki banyak hal yang membuatku penasaran."

Ponsel Gigar bergetar. Pria itu mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. "Halo?"

"Kau bersama Leva?" Suara wanita dari seberang sana.

Gigar tentunya mengenali suara itu. Dia tidak merespon si penelepon. Leva menatap Gigar yang juga sedang menatapnya. Pria itu berlalu ke dapur.

Leva berpikir, mungkin orang penting yang tengah menelepon Gigar.

Gigar mengambil air dingin dari kulkas lalu meminumnya.

"Kau tuli, ya?"

"Sabrina, jangan ganggu aku lagi."

"Punya mainan baru yang cantik? Boneka barumu tidak lebih dari jalang murahan. Aku bisa mengacak-acaknya hingga kau jijik padanya."

"Jangan macam-macam. Kau tentunya tahu watakku."

"Aku tahu sekali tentangmu. Kau memang pria sialan yang licik. Tapi, kau tidak akan pernah bisa membunuhku, karena kau masih mencintaiku, kan?"

"Pengkhianat akan mati, entah itu mati di tanganku, atau mati di tangan orang lain."

Ketika Gigar akan mengakhiri panggilannya, Sabrina kembali bicara, "Jangan ditutup dulu, sialan! Lebih baik kau lihat, apa yang sedang dilakukan pacarmu sekarang."

Kedua mata Gigar melebar, pria itu segera kembali ke ruangan di mana Leva berada. Dia terkejut melihat Leva sedang berbicara dengan Asgar.

Asgar melirik Gigar sesaat. Pria itu tersenyum sinis sambil menyerahkan sesuatu pada Leva. Ketika gadis itu akan menerimanya, Gigar segera menarik tangan Leva dan dia yang menerima barang itu dari Asgar.

Kedua pria itu saling melemparkan tatapan tajam.

"Aku pergi, ya." Asgar akan menyentuh bahu Leva, tapi Gigar menghalanginya.

"Silakan pergi," kata Gigar.

Asgar mendecih. "Pacar barumu sangat posesif, ya."

Setelah berkata begitu, Asgar pergi.

Apa anak buahku tidak berhasil menghabisinya? Gigar tampak cemas.

"Apa isinya?" Tanya Leva sambil mengambil kotak dari tangan Gigar.

Ternyata isinya adalah baju milik Lingga. Gigar merebutnya. "Kau bisa bermimpi buruk lagi gara-gara ini."

"Tidak, Gigar... itu barang kenangan milik Lingga." Leva berusaha mengambil kembali kaos itu. Gigar tidak memberikannya.

"Kenangan Lingga yang membuatmu bermimpi buruk setiap malam. Aku tidak bisa melihatmu menangis setiap malam karena mimpi itu."

"Tapi, Gigar...."

Pria itu berlalu sambil membawa kaos milik Lingga.

"Gigar! Kau mau membawanya kemana?"

~

Di apartemennya, Gigar membakar kaos Lingga. Dia sangat marah. Ketika Leva sudah membuka hati untuknya, ada saja gangguan yang datang.

Pria itu menelepon orang kepercayaannya, tapi tidak diangkat. "Kenapa dia menghilang? Membunuh Asgar saja tidak bisa dan sekarang malah menghilang."

Tiba-tiba dia teringat pada Sabrina. Gadis itu tahu, ada seseorang yang mengunjungi Leva saat tadi menelepon. Apa mungkin Sabrina yang menolong Asgar untuk bersekongkol memisahkan Leva dengan Gigar?

"Jalang sialan itu."

Setelah dicari tahu, ternyata orang kepercayaan Gigar yang disuruh menghabisi nyawa Asgar sudah meninggal dalam misinya itu. Gigar semakin yakin, kalau Sabrina ada sangkut pautnya dengan masalah ini.

Dia pun menelepon seseorang. "Siapkan segala keperluan di pulauku. Aku akan segera ke sana secepatnya."

~

Leva sudah pulang dari kantornya. Dia memasuki apartemen dan terkejut melihat barang-barang Lingga tidak ada di tempatnya.

"Kemana barang-barangku?" Laci dan lemari di apartemennya bersih seperti habis dirampok.

Gitar milik Lingga, kaos voli, snow globe, semuanya tidak ada. Leva menangis sambil terus mencari. Dia tidak menemukan satu pun barang milik Lingga. Bahkan flashdisk dan kamera miliknya juga tidak ada.

Leva menangis histeris. Dia sudah kehilangan Lingga, dia tidak mau kehilangan barang kenangan dari Lingga. Gadis itu meringkuk memeluk lututnya. Hazel-nya melirik benda berkilauan di sudut ruangan. Itu adalah cincin yang dilemparkan Leva waktu mabuk.

Cincin pemberian Lingga yang belum sempat diberikan. Leva mengambilnya dan mengenakan kembali cincin itu di jari manisnya. Dia teringat sesuatu.

"Gigar?"

❇❇❇

14.53 | 23 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Donde viven las historias. Descúbrelo ahora