31

6 1 0
                                    

***

Mari kita mundur sesaat ke part-part sebelumnya.

Waktu pertama kali Martin dan Brillian mengunjungi rumah Mahali, mereka juga pertama kalinya bertemu dengan Gigar.

Seorang pria tinggi menuruni tangga menuju ke pintu utama. Pandangan ketiga pria di ruang tamu tertuju padanya.

"Itu putra bungsuku. Gigar! Argigar!" Tuan Mahali memanggil putranya.

Pria berambut hitam kecoklatan itu menoleh pada ayahnya. Tuan Mahali memberikan kode agar putranya datang padanya.

Pria itu melangkah menghampiri sang ayah.

Martin dan Brill melongo melihat pria itu. Bagaimana tidak, pria berdarah Autralia-Indonesia itu mirip sekali dengan Lingga.

Tuan Mahali menepuk bahu putranya. "Sapa kerabat jauh kita."

"Selamat malam, saya Argigar Mahali." Pria itu memiliki deep voice yang membuat siapa pun tenggelam mendengarnya.

Brill yang masih melongo mengangguk-angguk.

Gigar duduk di samping ayahnya. Tuan Mahali melihat ekspresi Martin dan Brill yang tidak henti-hentinya menatap heran pada Gigar.

"Ada yang salah?" Tanya Tuan Mahali.

"Ah, tidak. Putra anda sangat tampan," sangkal Martin.

"Dia mirip dengan ibunya."

Setelah selesai berbincang dengan Tuan Mahali dan Argigar Mahali, Martin bersama Brill pamit pulang.

Di dalam mobil, kedua pria Amardi itu membahas pembicaraan mereka sebelumnya di kediaman Mahali.

"Tuan Mahali sangat baik, bukan?" Ujar Martin.

"Iya, tapi kata orang, anak-anaknya yang sombong dan licik. Bagaimana bisa Papa mempercayai Gigar?" Brill mengutarakan pendapatnya.

Martin menyangkal ucapan putranya, "Aku tidak sepenuhnya percaya pada siapa pun. Aku akan tetap mengawasi kinerja Gigar nantinya."

"Ketika melihat wajah Gigar, rasanya tidak asing," gumam Brill.

Martin tampak berpikir. "Aku rasa dia mirip dengan Lingga. Jika saja rambutnya sedikit lebih pendek, dia akan persis sama seperti Lingga."

"Iya, Papa benar, dia mirip Lingga. Hanya saja Lingga lebih putih."

***

Iya, wajah Gigar mirip sekali dengan Lingga. Hanya rambutnya yang berbeda. Rambut Gigar yang hitam kecoklatan sepanjang telinga. Selain itu, Gigar memiliki dua lubang tindik di telinga kanan dan satu di telinga kiri.

Pria itu melihat Leva yang terkapar di lantai.

***

Saat Gigar membatalkan datang ke rumah Amardi untuk makan malam, dia dan kakak-kakaknya yang lain membawa sang ibu ke rumah sakit, ketika kondisinya tiba-tiba memburuk.

Mendengar kabar bahwa Nyonya Mahali masuk rumah sakit, Martin, Brill, dan Leva segera pergi ke rumah sakit yang dimaksud.

Melihat Tuan Mahali yang terpuruk dalam kecemasan, Gigar bicara pada kakak-kakaknya. "Biar aku yang bicara dengan dokter."

Setelah mendapatkan anggukkan, Gigar berlalu menemui dokter.

Martin, Brill, dan Leva telah tiba di rumah sakit khusus pasien kanker itu. Mereka melihat keluarga Mahali di ruang tunggu. Tuan Mahali tampak panik. Dia bahkan tidak ingin duduk.

"Tuan Amardi?"

"Tuan Mahali?"

Leva melihat putra dan putri Mahali yang sedang cemas dengan air mata di wajah mereka. Leva mengira, salah satu dari mereka ada yang namanya Gigar.

Suster keluar dari ruangan. "Tuan Mahali, mari ikut kami."

Dengan segera Tuan Mahali masuk ke ruangan tersebut bersama suster. Karena situasi terasa begitu tegang, Leva merasa cemas juga. Dia meminta izin pada ayahnya untuk pergi ke toilet.

Gadis itu mencuci wajahnya. "Hhhhh." Helaan napas terdengar jelas dari mulutnya.

Leva keluar dari kamar mandi. Dia berjalan menyusuri koridor. Namun, pandangannya tertuju pada pasangan yang sedang berbicara di koridor.

Pria yang mirip Lingga itu sebenarnya adalah Gigar. Leva bersembunyi di balik dinding seperti waktu itu.

Jantungnya berdebar kencang. "Kenapa Lingga di sini? Ini 'kan rumah sakit khusus untuk orang yang kanker. Apa Lingga benar-benar sakit parah?"

Leva mengintip dari balik tembok. Dia melihat dua orang itu tampaknya sedang bertengkar.

"Ibuku sedang sakit parah dan kau datang kemari hanya untuk mempertanyakan hubungan kita?" Geram Gigar.

Leva tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka ributkan.

Leva memfokuskan pandangannya pada wanita itu. Wanita yang sekarang berbeda dengan wanita yang berbicara dengan Lingga di apartemen waktu itu.

"Gigar, aku tidak bisa hidup tanpamu, aku mencintaimu. Beri aku kesempatan sekali lagi, aku mohon."

Gigar mendorong perempuan itu dengan kasar. "Minggir, aku harus mengurus ibuku!"

"Tidak, kau harus menjawab aku dulu!"

"Minggir! Ibuku sedang meregang nyawa!"

Seorang suster lewat. "Tuan, Nona, tolong pelankan suaranya. Di sini banyak pasien yang sakit."

Gigar meminta maaf, "Maaf, Sus."

Setelah perawat itu pergi, tiba-tiba wanita itu mengecup bibir Gigar.

Leva terbelalak. Dia kembali bersembunyi di balik dinding. Hatinya benar-benar hancur melihat itu. Bagaimana bisa Lingga mengkhianatinya dua kali. Leva segera pergi.

Gigar mendorong mantan pacarnya sampai tersungkur. "Jangan hubungi aku lagi!"

Perempuan itu menangis di lantai menatap punggung Gigar yang semakin jauh. "Kenapa ibumu tidak mati saja!"

~~~

Ketika Gigar sudah memegang kantor cabang Amardi Property, Brill berbincang dengannya dan menyampaikan sesuatu, "Oh iya, adikku ingin aku menyampaikan rasa terima kasihnya padamu."

"Sama-sama."

"Baiklah, aku pergi." Brill berlalu.

Gigar menyandarkan punggungnya ke kursi. Dia merasa penasaran pada putri bungsu keluarga Amardi. Selama ini dia belum pernah bertemu dengannya.

Pria itu mengambil ponselnya dan mencari nama Billeva Amardi di Google. Pria itu menemukan link Instagram Leva dan langsung meng-klik link tersebut.

Ada banyak foto Leva. Lingga melihat salah satu foto Leva. "Cantik."

Gigar melihat lagi foto lainnya. Ada foto Leva bersama Lingga. Gigar mengernyit. "Oh, dia punya pacar?"

Ketika fotonya di klik, Gigar terkejut melihat wajah Lingga yang mirip sekali dengannya. "Bagaimana bisa...."

❇❇❇

13.30 | 4 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang