41

5 0 0
                                    

Kania mengintip Gigar dan Leva lewat celah pintu. Dia melihat kedua orang itu sedang makan. Seseorang menepuk bahu Kania, membuat perempuan itu tersentak.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengintip Tuan Mahali?" Tanya karyawan pria yang baru saja mengejutkan Kania.

"Aku heran, kenapa wanita itu ada di sini? Apa dia pacarnya Tuan Gigar? Atau... dia perempuan sewaan Tuan Gigar?" Kania tampak berpikir.

"Memangnya apa urusannya dengan kita? Itu urusan pribadi Tuan Mahali."

"Tuan Gigar memperlakukan gadis itu dengan baik, tapi mereka tidak terlihat seperti sedang berpacaran."

"Ya sudah, ayo kita briefing."

Kania mendelik kesal. "Briefing bagaimana? Bosnya masih di makan di dalam."

Dalam waktu beberapa minggu, Leva sering datang ke kantor cabang untuk belajar lebih banyak lagi tentang posisinya pada Gigar. Mereka tentunya jadi sering bertemu, sering juga Leva menjadi buah bibir para karyawan.

Karena sering bertemu Gigar, dia juga sering bermimpi buruk. Gadis itu tidak tahu harus bagaimana.

Sore itu, sepulang dari kantor, Gigar mengunjungi apartemen Leva. Untuk pertama kalinya dia masuk ke apartemen gadis itu.

"Apartemenku agak berantakan. Kau tidak bilang mau datang," ucap Leva sambil berlalu ke dapur.

Gigar melihat kaos singlet merah yang tergantung di dinding. Pria itu tahu, kaos tersebut milik Lingga. Gigar menyentuh ban kapten yang terletak di meja tepat di bawah kaos itu.

"Kapten voli," gumamnya pelan.

Gigar melihat snow globe yang lucu. Dia memutar tuasnya dan musik pun terdengar menggema di ruangan itu. Bahkan Leva yang berada di dapur bisa mendengarnya.

Kalung salib milik Lingga juga ada di sana. Gigar tahu, itu milik Lingga. Dia memakai kalung tersebut dan melihat pantulan dirinya di cermin. Pria itu terlihat keren dengan kalung tersebut.

Leva kembali ke ruang tamu dengan nampan berisikan cemilan dan minuman. Dia meletakkannya di meja lalu menoleh pada Gigar. Gadis itu membeku.

Gigar berbalik menatap Leva yang juga sedang menatapnya dengan tatapan terpaku. Gadis itu tidak melihat Gigar. Yang dia lihat adalah Lingga.

Pria tinggi tegap dengan rambut pendek berwarna hitam. Lingga menatap Leva sambil tersenyum tampan. Pakaian putihnya terlihat bercahaya. Salib di lehernya juga tampak silau tersorot senja.

Leva melangkah pelan menghampiri Gigar. Mereka saling menatap sesaat.

Karena wajah Leva sangat dekat, Gigar tidak tahan untuk tidak mendekatkan wajahnya. Tatapan Gigar tertuju pada bibir Leva yang sedikit terbuka. Tiga cm lagi Gigar bisa mengecup bibir mungil itu. Tapi, tiba-tiba Leva memeluknya dan menangis.

Tentu saja Gigar terkejut. Pertama kali Leva memeluknya dengan begitu erat, seolah jika dilepaskan sedikit saja, Gigar akan pergi selama-lamanya. Antara bingung dan ragu, Gigar mengangkat kedua tangannya dan membalas pelukan Leva.

Leva, kita hanya berdua di sini, kenapa kau menggodaku seperti ini? Pria itu mengusap puncak kepala Leva dengan lembut. Leva masih menangis, tangisannya bahkan menjadi sesegukan.

"Aku sudah lelah, aku tidak bisa, aku capek," tangis Leva.

Gigar mengernyit. Dia bicara apa? Apa masalah kantor?

Leva melepaskan pelukannya dan menatap Gigar. Tangisannya berhenti. Dia baru sadar, barusan dia memeluk Gigar, bukan Lingga. Kedua matanya bergulir untuk mengalihkan tatapannya dari Gigar.

"Ma-maaf." Leva benar-benar malu setengah matang, eh setengah mati. Gadis itu segera menghapus air matanya.

Tiba-tiba Gigar menarik Leva kembali ke pelukannya. Gadis itu tidak bergerak sama sekali. Dia bahkan tidak berani membalas pelukan pria itu.

Gigar mendekatkan bibirnya ke telinga Leva seraya berbisik lirih, "Jika aku mirip dengan Lingga, aku harap kau juga memperlakukanku sama seperti saat kau memperlakukan dia."

Leva merinding mendengar suara baritone Gigar tepat di telinganya.

"Sama seperti Lingga, aku juga... mencintaimu."

Deg!

Leva benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.

Gigar mencintainya? Bagaimana bisa?

"Aku mencintaimu, Billeva, Billeva Mannuela Amardi."

Tidak mendapatkan jawaban dari Leva, pria itu melepaskan pelukannya dan menatap gadis itu. "Aku tahu, kau tidak mencintaiku. Meskipun wajahku mirip Lingga, kau hanya akan mencintainya, tidak denganku."

Leva tidak bisa menyangkal itu. Gigar benar, Leva hanya mencintai Lingga seorang.

"Apa kau tidak bisa membuka hatimu untuk pria lain?" Tanya Gigar.

"Gigar, aku tidak bisa mengatakan apa pun sekarang." Leva mengalihkan pandangannya.

Gigar menangkup wajah Leva agar melihatnya kembali. "Aku bisa menjadi pacar yang lebih baik dari Lingga, aku bisa melakukan apa pun agar kau mau menjadi milikku."

Sejujurnya kalimat Gigar membuat Leva agak takut. Gadis itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia tidak tahu harus bicara apa lagi.

"Maaf, sepertinya aku membuatmu takut, tapi apa yang aku katakan memang benar adanya." Gigar mengusap pipi Leva. "Aku pulang."

Leva menatap punggung Gigar yang menghilang di balik pintu.

"Gigar, maaf."

❇❇❇

16.16 | 11 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang