24

15 1 0
                                    

"Papa, aku ingin tinggal di rumah granny," pinta Leva pada ayahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Papa, aku ingin tinggal di rumah granny," pinta Leva pada ayahnya.

Brill dan Jasmine saling pandang. Martin pun bertanya, "Kau mau tinggal di Jerman bersama nenekmu?"

Leva mengangguk. "Aku tidak bisa melupakan Lingga, jika berlama-lama di sini."

Jasmine memeluk adik iparnya. Dia mengerti dengan perasaan Leva.

"Baiklah, nanti Papa akan memesan tiket."

Setelah mendapatkan izin dari ayahnya, Leva kembali ke apartemen untuk mengemas barangnya. Sesaat gadis itu melihat ke seluruh ruangan. Ada banyak kenangan antara dia dan Lingga yang tidak mungkin bisa dilupakan begitu saja.

Leva pergi ke bandara. Dia duduk sambil menunggu panggilan. Di tangan Leva ada kalung salib milik Lingga.

***

Ketika Leva menangis sambil duduk di ruang tunggu, dokter yang berusaha menyelamatkan nyawa Lingga datang menghampirinya. Dia memberikan kalung salib milik Lingga pada Leva.

Gadis itu menerimanya.

"Maafkan aku, Nona. Aku tidak mengerti, kenapa pasien stadium akhir seperti Tuan Halingga menolak untuk dirawat."

Leva menatap kalung tersebut.

***

Leva menarik keluar kalung di lehernya. Kalung dan cincin itu pemberian Lingga. Gadis itu lagi-lagi menangis.

"Sialan, kenapa aku menangis lagi. Ini di bandara, Lev. Mana rasa malumu?" Gadis itu seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Leva melihat ke sekeliling. Air matanya mengaburkan pandangan. Di satu titik, dia melihat seseorang yang tidak asing menurutnya.

Wanita itu.

Wanita yang diberi cincin oleh Lingga di depan apartemennya. Leva segera mengelap air matanya. Wanita itu tampaknya baru tiba dari suatu tempat.

Terdengar suara panggilan untuk penerbangan selanjutnya. Itu adalah pesawat yang akan digunakan Leva untuk sampai di Jerman. Gadis itu ingin pergi ke Jerman, tapi dia penasaran pada wanita itu sehingga dia memutuskan untuk mengikutinya.

Ya, wanita yang diberikan cincin oleh Lingga adalah Virda.

Virda menyetop taksi. Leva juga melakukan hal yang sama, dia menyetop taksi.

"Pak, ikuti taksi yang di depan itu," suruh Leva.

Sopir taksi menoleh pada Leva. "Apa anda polisi yang sedang mengikuti buronan?" Tanya sopir.

Leva tampak berpikir untuk sesaat lalu mengangguk. "Iya, cepat jalankan mobilnya. Saya harus menangkap orang itu hidup-hidup."

Taksi yang membawa Virda berhenti di depan sebuah toko boneka. Wanita itu keluar dari dalam taksi. Leva juga melakukan hal yang sama. Gadis itu mencari Virda di dalam toko.

Wanita itu membeli sebuah boneka beruang yang besar. Leva mengernyit. Karena sudah memasuki toko, Leva juga akhirnya membeli boneka panda yang besar juga.

Virda berjalan kaki menuju sebuah rumah yang minimalis, tapi tampak cantik dengan cat berwarna putih dan ada banyak tumbuhan hias di halaman depannya.

Virda memasuki rumah tersebut. Dua orang anak perempuan kembar yang kira-kira berusia 5 tahun berlari menyambutnya.

"Lihatlah ada bonek beruang yang besar." Virda menyerahkan boneka tersebut pada kedua anak kembar itu. Meskipun hanya ada satu boneka, kedua anak itu tampak akur dan mengajak boneka itu bermain.

Bel rumahnya berbunyi. Virda menoleh. "Siapa yang datang?"

Ketika pintu dibuka, Virda melihat wajah penuh kesedihan di depannya. Leva yang menekan bel.

"Billeva Amardi?"

Leva terkejut, bagaimana bisa wanita itu mengenalinya.

"Siapa yang datang, Sayang?" Suara pria yang menuruni tangga.

Leva memiringkan tubuhnya melihat siapa pria itu. Pria asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Kedua anak kembar itu juga menoleh pada Leva yang membawa panda besar.

"Ini ada temanku, Leva, pacarnya Lingga. Apa kau ingat Lingga?" Virda menjawab pertanyaan pria itu.

Pria itu tampaknya sedang mengingat-ingat sesuatu. "Ah, iya... aku ingat, kenapa tidak menyuruhnya masuk? Ayo, kita makan malam bersama."

"Meylan, Meylin, cepat salaman." Virda memanggil kedua anak kembar itu.

Keduanya berlari menghambur pada Leva dan mencium tangannya. Leva melongo. Dia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.

Virda menyuruh Leva duduk bergabung di meja makan bundar. Leva duduk di samping Virda, kedua anak kembar itu duduk berhadapan, dan pria itu duduk di samping Virda. Boneka beruangnya juga mendapatkan kursi di tengah-tengah antara kedua anak kembar itu.

"Aunty, temannya tidak diajak makan?" Anak yang berambut keriting bertanya pada Leva. Gadis itu celingukan.

Virda terkekeh. "Maksud Meylan bonekamu."

Leva menoleh pada boneka pandanya yang dibiarkan tergeletak di lantai.

"Oohh, dia... dia tidak lapar." Leva tersenyum canggung.

Mereka pun makan malam bersama. Meskipun merasa canggung, Leva tidak bisa menolak makanan lezat itu. Dia sangat kelaparan.

Selesai makan, pria itu mengajak kedua anak kecil itu bermain di ruang tengah.

Ada banyak foto di dinding. Leva melihat foto mereka berempat. Ada foto Lingga juga bersama kedua anak itu.

"Mereka adalah anak-anakku dan yang tadi adalah suamiku."

Leva tercengang. "Hah?!"

❇❇❇

16.39 | 3 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang