***

Jeritan-jeritan kehilangan begitu menggema di rumah sakit khusus pasien kanker.

Tuan Mahali jatuh ambruk, setelah dokter menyatakan jika Nyonya Mahali sudah tidak bisa diselamatkan. Putra-putri keluarga Mahali sangat terpukul. Mereka menangisi kepergian sang ibu.

Gigar tidak bisa membendung air matanya lagi. Pria itu berlalu meninggalkan ayah dan kakak-kakaknya. Dia tidak bisa melihat keadaan mereka seperti itu.

Di sepanjang koridor, Gigar menangis dalam diam dengan kepala tertunduk. Dia berhenti dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Kepalanya menengadah. Air matanya semakin banyak berjatuhan membasahi wajah tampannya.

Ibu, kenapa kau pergi tanpa mengatakan apa pun? Tangis Gigar dalam hati.

Seseorang berjalan di koridor sebelahnya. Gigar mengenali orang itu. Dia Brill.

Sedang apa Brillian di sini? Kenapa dia menangis? Gigar mengambil sapu tangan dan mengelap air matanya. Dia melihat punggung Brill lalu berjalan ke arah yang berlawanan.

Gigar melihat beberapa perawat keluar dari salah satu ruangan darurat.

"Gadis itu seperti orang gila, dia tidak bisa di kendalikan."

"Iya, ayo kita pergi."

Gigar membuka sedikit pintu darurat itu. Dia melihat Leva yang menangisi kepergian Lingga.

Tangisan Leva membuat hati Gigar sakit melihatnya. Gadis itu memeluk jenazah Lingga.

Dalam satu hari ini, dua nyawa orang diambil di tempat yang sama, kata Gigar dalam hati.

Salah satu dokter melihat keberadaannya. Gigar segera pergi sebelum mendapatkan masalah.

"Tuan Mahali." Dokter itu memanggil Gigar.

Langkah pria itu terhenti. Dia berbalik dan menatap sang dokter.

"Saya turut berduka cita atas apa yang menimpa Nyonya Mahali," ucap Dokter.

Gigar mengangguk. "Ngomong-ngomong, jenazah di ruangan darurat itu kenapa?"

"Dia meninggal setelah berjuang melawan kanker. Selama ini dia tidak ingin diberikan perawatan khusus, bahkan ketika dia sudah di stadium akhir."

Gigar mengerti.

~~~

Ketika Brillian dan Jasmine menikah, Gigar diundang. Dia melihat Leva yang begitu cantik hari itu dengan gaun biru gelapnya. Dan kebetulan, Gigar juga mengenakan setelan jas yang warnanya sama dengan gaun Leva.

Gadis itu mengambil gelas berisi minuman berwarna emas yang cantik. Leva meminumnya. Gigar juga mengambil gelas dari meja yang sama. Pandangan onyx black-nya tidak pernah lepas dari Leva.

Pria itu memasuka tangan kanannya ke dalam saku celana.

***

Gigar ingin sekali bertemu langsung dengan Leva, sayangnya Brill dan Martin selalu saja mencari alasan. Setelah memiliki nomor telepon rumah milik Leva, dia langsung menghubunginya.

Melihat Leva yang terkapar di lantai, Gigar berjongkok dan mengangkat tubuh Leva. Dia menggendongnya dengan bridal.

"Katanya banyak yang ingin kau katakan, kenapa malah pingsan, sih?" Pria itu membawanya keluar.

Para karyawan terkejut dengan apa yang mereka lihat. Atasan tertinggi mereka menggendong seorang gadis yang pingsan?

Sekretarisnya juga terbelalak. "Tuan Mahali...."

Gigar memberikan kode agar tidak ada yang perlu dibicarakan. Kedua security juga akan membantunya, tapi Gigar menolak.

Pria itu mendudukkan Leva di kursi mobilnya. Dia memasang sabuk pengaman pada gadis itu, "Ah, merepotkan saja."

Gigar melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali dia menoleh pada Leva yang masih tak sadarkan diri. Pria itu tersenyum. "Cantik sekali jika dilihat dari dekat."

Pria itu membawa Leva ke kediaman Mahali. Kakak tertuanya yang sedang berlatih menembak dengan peluru angin menoleh.

"Wah, lihat apa yang didapatkan Gigar? Hasil buruanmu sangat besar," goda kakaknya.

Austin Mahali, dia adalah putra tertua keluarga Mahali. Pemilik aset terbesar keluarga Mahali. Dia sangat hobi berburu.

"Tidak pergi ke kantor?" Tanya Gigar.

"Tidak. Apa yang kau lakukan pada gadis itu sampai dia seperti itu?"

"Dia pingsan saat menemuiku," kata Gigar kemudian masuk ke dalam rumah.

Austin mengedikkan bahunya. "Ya, wajahmu memang menakutkan seperti hantu."

Gigar menidurkan tubuh Leva ke ranjang kamarnya. Gigar menghela napas. "Haaaah, berat juga tubuhmu, tidak seperti yang terlihat."

Pandangan Gigar tertuju pada bibir Leva yang sedikit terbuka. Perlahan pria itu mendekatkan wajahnya. Tapi, dia mengurungkan niatnya.

Gigar memanggil dua orang pelayan. "Jika dia membutuhkan sesuatu, urus saja."

Kedua pelayan itu membungkuk hormat. Gigar kembali ke kantor, karena urusannya belum selesai.

Sementara itu, Leva telah sadar dan dia terkejut mendapati dirinya sedang berada di sebuah kamar besar yang tidak dikenalinya.

Dia ingat, terakhir kali dia berada di kantor cabang ayahnya dan bertemu dengan seseorang yang mirip Lingga. Meskipun Gigar dan Lingga terlihat mirip, Leva tentunya bisa membedakan, mana Lingga dan mana orang lain.

"Orang tadi mirip sekali dengan Lingga. Siapa dia?" Leva tampak cemas.

Meskipun Leva tahu pria itu bukan Lingga, wajahnya akan selalu mengingatkan Leva pada Lingga dan itu akan membuatnya kembali frustasi karena kehilangan sosok Lingga.

Pandangan gadis itu teralihkan pada foto di meja. Dia mengambilnya dan melihat wajah Gigar di foto itu.

Leva membalik bingkainya. Kedua manik hazel itu melebar. Di bagian belakang foto tertulis sebuah nama.

Argigar Kylendra Mahali

❇❇❇

14.32 | 4 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Where stories live. Discover now