49

7 0 0
                                    

Malam harinya, Gigar mengunjungi apartemen Leva. Pria itu membawa bunga dan coklat.

"Tumben." Leva melihat dua benda itu di tangannya.

"Aku tidak berniat membelinya, hanya saja aku kebetulan melihatnya di toko yang aku kunjungi, jadi sekalian aku membelinya." Gigar masih bersikap sok keren di depan Leva.

Dia benar-benar tidak tahu caranya bersikap romantis, kata Leva dalam hati.

"Aku tidak pernah memberikan bunga dan coklat pada gadis lain. Anggap saja kau pacarku yang paling spesial." Gigar membuka jasnya dan duduk di sofa, seolah dia adalah pemilik apartemen tersebut.

Leva meletakkan kedua benda itu di meja. "Kau punya pacar?"

"Iya."

"Siapa?"

"Orang yang ada di depanku sekarang."

"Apa kau mengenal perempuan berambut pirang?" Leva terlihat serius.

Gigar terdiam sesaat. Dia tahu, perempuan mana yang dimaksud oleh Leva. "Ada banyak perempuan pirang di Indonesia. Kak Micheline juga rambutnya pirang sekarang."

"Aku pernah melihatnya bersamamu dan rumah sakit dulu. Sore ini dia menemuiku dan mengancamku agar tidak merebutmu darinya."

Gigar memutar otak cerdasnya. Sabrina mendatangi Leva? Itu bukan hal yang bagus. Perempuan itu bisa melukai Leva kapan saja. Kent benar, aku harus segera membawa Leva pergi ke pulauku.

"Aku dan Sabrina pernah menjalin hubungan selama beberapa tahun. Setelah itu, kami putus."

Leva mendengarkan dengan serius.

"Aku bosan padanya." Gigar menyandarkan punggungnya ke sofa.

Leva tidak senang dengan jawaban Gigar. "Kau pasti pernah menidurinya dan sekarang kau bilang bosan? Kenapa kau begitu tega?"

"Karena aku memang sudah bosan dengannya. Jangan membahas dia, aku tidak suka." Gigar membuang muka ke arah lain.

Leva terdiam. Sebenarnya dia masih ingin bicara, tapi dia jadi takut lagi pada Gigar.

"Kau mau hadiah apa dariku?" Gigar mengalihkan pembicaraan.

"Kau sudah memberikannya." Pandangan Leva tertuju pada bunga dan coklat yang dibawa Gigar di meja.

"Itu tidak pantas disebut sebagai hadiah ulang tahun. Kau mau apa, katakan saja. Aku akan memberikannya untukmu, Leva."

Leva menepuk paha Gigar. "Aku ingin kau selalu sehat seperti ini."

Tersirat kesedihan dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh Leva. Gadis itu tidak ingin Gigar pergi selamanya seperti Lingga. Meskipun dia belum tahu pasti, apakah dia memang mencintai Gigar, atau hanya perasaan yang masih tertinggal untuk Lingga yang dicurahkan pada Gigar.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu, kau yang berulang tahun. Bagaimana jika aku yang menentukan hadiah ulang tahun untukmu?"

Leva mengedikkan bahunya.

"Aku memiliki pulau kecil. Ada rumah sederhana di sana, bagaimana jika kita tahun baru ini kita berlibur?"

Leva merasa itu bukan ide yang bagus. Berduaan dengan Gigar? Itu akan sangat menakutkan. Gigar bukan orang yang mudah ditebak, itu yang dikatakan Tuan Besar Mahali.

"Tapi... aku tidak bisa meninggalkan tanggung jawabku di kantor."

Tiba-tiba Gigar melelapkan kepalanya ke paha Leva. Gadis itu terkejut. Biasanya Lingga yang melakukan itu. Lingga akan menyelip ke ketiak Leva dan tiduran di paha gadis itu, karena usapan lembut Leva di kepalanya sampai-sampai tidur beneran hingga keesokan harinya.

Gigar tahu, itu kebiasaan Leva dan Lingga. Hari ini dia ingin mendapatkan perlakuan yang sama. Dia ingin Leva memanjakannya seperti Lingga. Tapi, Lingga terlalu gengsi untuk memintanya.

Perlahan tangan Leva bergerak menyentuh long hair milik Gigar. Gadis itu mengusapnya dengan lembut. Gigar menutup kedua matanya merasakan kelembutan sang pacar. Yeah, status pacaran hasil memaksa dalam keadaan tidak sadar.

Dalam keadaan mata tertutup, Gigar bertanya, "Kau sering bermimpi buruk? Apa itu terjadi setiap hari?"

"Emmm... iya."

***

Gigar memilih pakaian di lemari Leva. Dia menemukan piyama berwarna merah muda. Pria itu mengambilnya lalu kembali ke ruang tamu.

Dia melihat Leva yang tadinya mabuk berat, sekarang tidur dalam keadaan telanjang di sofa.

Pria itu mengambil kaos putih yang tadi dia robek dan memasukkannya ke saki celananya. Dia akan membuangnya saat pulang nanti. Pria itu mendekat dan duduk di sofa sambil membuka kancing piyama di tangannya.

"Hhhhh."

Gigar menoleh pada Leva yang sepertinya sedang sesak napas. Pria itu mendekatkan wajahnya pada Leva.

"Hhhh." Leva menangis dalam keadaan kedua matanya yang masih tertutup rapat.

"Please... aku sudah lelah... aku sudah cape. Aku tidak bisa. Aku sudah merelakanmu... aku mencintaimu... pergilah dengan damai. Aku tidak bisa seperti ini terus." Leva bergumam pelan dengan air mata yang tiada hentinya mengalir.

Gigar tidak bisa melihat Leva menangis. Dia menyeka air mata di wajah Leva. Pria itu memakaikannya piyama. Gigar menarik tubuh Leva dan memeluknya dengan erat.

"Sampai tidur pun kau masih memimpikannya, aku cemburu."

***

"Kau bermimpi buruk tentang Lingga sepertinya." Gigar mengingat flashback malam itu.

Leva masih mengusap rambut Gigar. "Aku tidak tahu, kenapa Lingga masih datang ke mimpiku. Setiap hari dia datang ke mimpiku aku sangat takut."

"Dia sangat mencintaimu... bahkan setelah dia mati sekali pun."

❇❇❇

08.57 | 23 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang