35. Started

10 1 0
                                    

'''If you're brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello.'''

❇❇❇

Kedua mata Leva terbuka tiba-tiba. Keringat dingin memenuhi pelipis dan dahinya. Napasnya terengah-engah. Gadis itu bermimpi buruk lagi tentang Lingga setelah 4 tahun lamanya.

Leva bangkit sambil memegang dadanya. Jantungnya berdetak kencang. "Kenapa juga aku harus bertemu orang itu kemarin, jadinya aku bermimpi buruk."

Semua kenangan Lingga kembali berputar di kepalanya. "Please, stop it."

Sementara itu, Brill mendapatkan kabar dari orang kantor yang mengenali Leva, kalau kemarin gadis itu datang ke kantor dan bertemu dengan Gigar lalu keluar dari kantor dalam keadaan pingsan dibawa oleh Gigar.

Tentu Brillian panik. Dia segera mendatangi apartemen Leva. Pria itu mencemaskan kesehatan mental adiknya. Sesampainya di apartemen Leva, Brill menekan bel. Tanpa jeda, Brill terus menerus menekan bel.

Pintu dibuka. Brill melihat Leva tampak kacau. Rambutnya berantakan seperti singa, pakaiannya juga kusut, wajahnya muram.

"Leva." Brill memeluk adiknya.

"Itu alasannya, kenapa kalian melarangku bertemu Gigar?" Tanya Leva.

"Jika kau belum siap, kau bisa ke kantor lain kali, setelah dia memegang perusahaannya sendiri," hibur Brill.

"Kenapa mereka begitu mirip. Semua yang telah aku pendam dan aku lupakan kini kembali berputar di kepalaku. Rasanya sakit sekali."

"Aku mengerti." Brill mengeratkan pelukannya.

"Pria itu... dia tahu nomor teleponku, dia tahu apartemenku, apakah itu tidak menakutkan?"

Brill terkejut mendengarnya. Benarkah? Apa mungkin Gigar mencari informasi tentang Leva selama ini? Tapi, untuk apa?

"Aku akan menangani ini."

Setelah pertemuan itu, Leva tidak pergi ke mana pun. Dia hanya diam di apartemennya. Gigar juga tidak tahu, apa yang harus dia lakukan. Pergi dari Amardi Property, atau tetap mengurus perusahaan cabang tersebut, karena sudah satu minggu berlalu, Leva tidak kunjung menggantikan posisinya.

Hingga Brill datang ke kantor cabang dan menemui Gigar. "Biar aku yang mengurus Amardi Property cabang, Tuan Mahali sedang menantimu untuk memegang Mahali Group."

Gigar mencondongkan tubuhnya. "Apa kau yakin? Kau sendirian."

"Aku bisa, terima kasih atas bantuannya. Kami benar-benar berterima kasih. Nanti kita akan membicarakan keuntungan yang selama ini kita dapatkan." Brill beranjak dari kursi kemudian berlalu, tapi langkahnya terhenti di depan pintu.

Gigar masih menatap punggung pria itu.

Brill bersuara, "Aku tidak tahu kau dan Leva bertemu waktu itu. Jika aku boleh jujur, wajahmu mirip sekali dengan pria yang dicintainya. Tapi, pria itu sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Dia pasti kaget saat bertemu denganmu. Aku harap, kalian tidak bertemu lagi, demi kesehatan mental adikku."

Berakhirnya kata-kata itu, Brill menghilang di balik pintu. Gigar mencerna ucapan Brill.

Gigar pun memutuskan untuk meninggalkan Amardi Property. Dia sudah memegang perusahaan cabang Mahali Group milik sang ayah. Pria itu ingin bertemu dengan Leva, tapi bagaimana caranya? Jika pertemuan mereka hanya akan menyakiti Leva, Gigar memilih untuk mengalah.

Gigar tidak bisa menahan dirinya. Dia ingin bertemu Leva. Pria itu mengambil ponselnya untuk mencari nomor pribadi Leva yang berhasil dia dapatkan entah dari mana. Tapi, sebelum dia menekan call, nomor tersebut meneleponnya lebih dulu. Tentu saja itu membuatnya kaget.

Bagaimana bisa Leva mengetahui nomornya? Pastinya dari Brill, sih.

Dengan segera, Gigar mengangkat panggilan tersebut. Leva tidak mengatakan apa pun. Gigar juga diam, menunggu Leva berbicara lebih dulu.

"Leva?"

"A-aku minta maaf."

Kedua mata Gigar menyendu. "Kenapa meminta maaf? Apa kau berbuat salah padaku?"

"Aku merasa kurang sopan saat kita bertemu untuk pertama kalinya. Aku sungguh minta maaf. Aku tidak berniat bersikap seperti tembok, aku hanya... hanya sedikit terguncang."

Gigar merasa sedih mendengar suara Leva yang bergetar. "Aku tahu, Leva. Brill sudah menceritakannya padaku."

Hening, Leva tidak mengatakan apa pun.

"Aku harap, kau tidak berpikir untuk tidak berteman denganku, hanya karena aku mengingatkanmu pada seseorang. Karena aku ingin berteman baik denganmu."

Leva masih tidak menjawab.

"Kau masih di sana?"

"I-iya."

"Bisakah kita bertemu? Aku akan menjemputmu."

"Emm, sekarang?"

"Aku akan menjemputmu saat kau siap bertemu denganku."

"Baiklah, sekarang saja."

Senyuman tipis merekah di wajah Gigar. Tentu saja pria itu sangat senang. Dia segera bersiap untuk bertemu dengan Leva. Pria itu memilih baju. Jeans hitam dan kaos hitam berlengan pendek adalah pilihannya. Selama ini Gigar sering memakai pakaian berlengan panjang. Ketika dia memakai kaos berlengan pendek, ukiran tato di tangannya terlihat jelas.

Gigar merapikan rambut coklatnya dan mengkuncir sedikit bagian atas rambutnya ke belakang. Dia terlihat begitu tampan dan seksi.

Pria itu menaiki mobil sport merahnya. Mobil baru yang dia beli bersamaan dengan mobil Xavier minggu kemarin.

Tibalah dia di apartemen Leva. Pria itu menekan bel. Sembari menunggu pintunya dibuka, Gigar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

Pria itu melirik pintu. Tidak ada tanda-tanda pintunya akan dibuka. Gigar kembali menekan bel. Kali ini pintunya terbuka. Gigar memiringkan kepalanya. Keningnya berkerut.

Kenapa dia mengerutkan keningnya?

❇❇❇

18.21 | 9 Februari 2020
By Ucu Irna Marhamah

Ephemeral Where stories live. Discover now