Mémoire : 34. Lost

17.3K 1.9K 733
                                    

Dulu, ketika Jisoo sedang merasa sedih. Lisa akan selalu datang dengan cokelat ditangannya. Entah itu berbentuk cokelat langsung atau olahan. Dengan senyum manis, adiknya itu berkata jika cokelat sangat berguna untuk meredakan perasaan sedih.

Tapi sekarang, Jisoo merasa cokelat tak bereaksi lagi atas rasa sedihnya. Dan saat ini dia baru sadar, bukan cokelatnya yang menghilangkan rasa sedih Jisoo. Tapi orang yang memberikannya lah yang seakan mengangkat seluruh gundah gulana di hati Jisoo. Dia Lisa, adik manisnya yang selalu tersenyum.

Memilih mengantongi sisa cokelat di tangannya, Jisoo berjalan untuk kembali menuju ruang ICU. Dimana Ayah dan Ibunya kini berada. Keadaan disana masih sama. Dua orang itu tampak lesu dengan pikiran yang kalut.

Jisoo tak bisa berbuat apa pun untuk sekedar menghibur. Karena dia juga berada di posisi yang sama. Alhasil dia hanya diam sembari memilih duduk di samping Ayahnya.

Belum sempat mencapai kursi tunggu, ponselnya berdering sekali. Membuat Jisoo segera merogoh saku mantelnya untuk meraih benda pipih itu dan ingin mengecek siapa pengirim pesan singkat barusan.

Baru saja ponsel itu keluar dari saku mantelnya, seseorang tak sengaja menabrak Jisoo karena tampak begitu kerepotan membawa beberapa kotak di tangannya. Mengakibatkan ponsel mahal itu jatuh ke lantai rumah sakit.

Pria paruh baya dengan seragam petugas keamanan itu segera meletakkan barang bawaannya terburu-buru. Lalu beralih mengambil ponsel Jisoo dan memberikannya pada sang pemilik.

"Maaf--- Ah, gadis berponi itu kenalanmu?" pria paruh baya itu cukup terkejut ketika tak sengaja melihat wallpaper ponsel Jisoo yang menyala. Dimana ada empat orang gadis yang sedang tertawa ke arah kamera.

"Dia adikku. Kau mengenalnya, Paman?" tanya Jisoo ragu.

"Aniya. Aku hanya pernah mengantarnya ke koridor ini beberapa hari lalu." Beritahu pria itu sembari mengingat kejadian beberapa hari lalu.

"Mengantarnya beberapa hari lalu? Kau tak salah, Paman? Adikku bahkan sudah hapal koridor ini." Suara Jisoo sedikit meninggi, membuat Hyunbin dan Yejin menoleh pada anaknya yang sedang berbincang dengan seorang petugas keamanan rumah sakit.

Ditanya seperti itu, sang petugas hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia pun sebenarnya bingung. Lisa terlihat seperti orang yang tidak bodoh. Tapi mengapa dia tak tahu arah?

"Kejadiannya tiga hari lalu. Dia memintaku untuk mengantarnya ke ruang VVIP berada. Saat itu aku sempat bingung, karena dia tampak tak mengerti arah." Beber pria itu memulai untuk bercerita mengenai pertemuannya dengan Lisa.

"Ketika aku selesai mengantarnya, temanku bilang jika gadis itu tampak kebingungan dan selalu menanyakan letak arah yang sama selama hampir satu jam. Apakah... Adikmu baik-baik saja, Nona? Maksudku, bukankah dia sudah dewasa untuk bisa mengenal petunjuk arah?"

Jisoo hanya bisa terdiam dengan wajah pias. Perlahan mengangkat tangannya dan memperhatikan telapak yang tiga hari lalu sudah melukai adiknya. Jadi... Alasan lupa yang selalu Lisa gunakan itu bukan kebohongan? Tapi, bagaimana bisa?

"Kau tidak berbohong?" itu bukan suara Jisoo, melainkan Hyunbin yang juga terkejut mendengarnya.

"Tentu, Tuan. Tidak ada keuntungannya untukku berbohong padamu." Setelah membungkuk hormat pada Hyunbin, petugas keamanan itu melangkah pergi dengan barang bawaannya.

Tak tahu harus bereaksi seperti apa untuk menggambarkan keterkejutannya, Hyunbin hanya bisa saling melempar pandang dengan istrinya. Mereka ingat pemibicaraan mengenai perilaku Lisa akhir-akhir ini. Dan rasanya Hyunbin menyesal karena tak memaksa Lisa untuk melakukan pemeriksaan.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now