Mémoire : 22. Bad Reality

13.8K 1.8K 244
                                    

Kedua mata itu bergetar melihat bibir seseorang yang terus mengeluarkan ringisan tertahan. Sedangkan tangannya sibuk mengusap kepala yang katanya terasa sakit. Hanya itu yang bisa Lisa lakukan untuk kakaknya. Dia tak bisa menghilangkan rasa sakit itu sedikit pun dari tubuh Jennie.

Pagi tadi Jennie sudah menjalani proses cuci darah di rumah sakit terdekat. Dan malam ini kakaknya itu lagi-lagi harus menerina efek yang cukup merepotkan dari pengobatan tersebut. Membuat ketiga saudarinya harus berada disisinya terus-menerus.

Dan malam ini, adalah giliran Lisa untuk selalu terjaga dan berusaha menenangkan sang kakak. Tidur di samping Jennie sembari terus memijat kelala kakaknya itu.

"Kau... Tidak pernah berniat untuk melakukan seperti apa yang akan Jisoo Unnie lakukan kan, Lisa-ya?" pertanyaan dengan suara serak itu membuat Lisa memejamkan mata sejenak. Menekan air mata yang hampir saja lolos keluar.

"Aniya."

Kedua mata cokelat Lisa kembali terbuka. Dan saat itulah pandangannya beradu dengan mata sang kakak. Melihat pancaran kesakitan yang amat jelas disana, Lisa semakin dibuat frustasi.

"Kau memang anak yang pintar. Jangan sekali-kali merusak tubuhmu, eoh? Kau harus menjadi apa yang kau inginkan." Jennie meraih tangan kurus Lisa yang semula ada di kepalanya.

"Lihatlah, tanganmu semakin kurus. Kau harus memperbaiki pola makanmu." Lanjut Jennie lalu mencium tangan beraroma lavender itu.

"Arraseo." Lisa yang mendengar kalimat penuh perhatian dari sang kakak hanya bisa membalas dengan satu kata meyakinkan.

Dia sungguh tak bisa berkata dengan panjang lebar, karena saat ini gadis berambut hitam itu sedang menahan diri untuk tidak menangis. Dulu, pasti dia akan senang ketika menerima perhatian dari Jennie. Namun sekarang, Lisa selalu sedih ketika Jennie melakukannya. Walau kakak keduanya itu masih dilanda rasa sakit, dia tetap saja memikirkannya.

"Hari ini Unnie merasa sangat lelah. Tapi karena ada pelukanmu, Unnie pasti akan merasa lebih baik nanti." Jennie menarik tubuh Lisa untuk semakin mendekat padanya. Memeluk erat tubuh yang lebih kurus darinya itu agar mendapat kenyamanan yang membuat perasaannya menenang.

"Aku berjanji, akan memberikan pelukanku padamu selama kau memintanya." Lirih Lisa membalas pelukan hangat itu. Memejamkan mata berusaha menemukan rasa kantuk yang seharusnya sudah menghampiri.

.........

Melihat kakak tertuanya sedang berendam di dalam kolam renang, Rosé yang pagi itu baru saja bangun dari tidur segera memasukkan tubuhnya mengikuti apa yang Jisoo lakukan. Walau dirinya masih menggunakan piyama tidur.

"Tidurmu nyenyak, Sayang?" tanya Jisoo meraih tubuh Rosé untuk dipeluk.

"Aku sulit tertidur karena memikirkan Jennie Unnie. Apakah dia sudah baik-baik saja?"

Rosé memang akan selalu merasa cemas setiap kali kakak keduanya baru melakukan proses cuci darah. Wajah pucat dan tak bertenaga milik Jennie selalu saja berputar di kepalanya dan tak mau pergi.

"Dia sudah bersama orang yang tepat. Kau jangan khawatir." Mendengar kalimat Jisoo, Rosé mengangguk setuju. Walau nyatanya Lisa hanya adik yang manja untuk mereka, namun bungsu Kim itu adalah obat dari segala rasa sakit kakak-kakaknya.

Bukan hanya Jennie. Rosé dan Jisoo pun ketika merasa sakit, mereka akan pergi mendekati Lisa. Meminta pelukan adik bungsu mereka itu sebagai obat yang amat ampuh. Pelukan yang terasa hangat, walau tubuh adik mereka sangatlah kurus.

"Unnie, sepertinya aku sudah menemukan impianku sesungguhnya." Ungkap Rosé sembari melepaskan dekapan Jisoo padanya. Ingin sekali saat ini menatap bola mata hitam milik sang kakak.

Mémoire ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang