Mémoire : 41. Talk

17.7K 1.9K 535
                                    

Ruangan itu hening. Hanya ada suara jarum jam yang berputar teratur. Lisa sungguh merasa gusar ketika duduk di hadapan Rosé saat ini. Dia tak tahu harus berbicara seperti apa karena mendadak menjadi canggung dengan kakaknya sendiri.

Terakhir kali mereka berinterasi, cukup buruk untuk Lisa ingat. Hubungan keduanya tak baik saat itu. Dan kini, Lisa benar-benar bingung melihat wajah berantakan kakaknya.

"Kalian bicaralah berdua. Aku dan Jimin akan pulang saja." Mendengar suara Hoseok, sontak Lisa mendongak dengan tatapan menusuk.

Tak mau mendapatkan amarah Lisa karena telah membocorkan keberadaannya, Hoseok menggiring Jimin untuk keluar dari apartement itu. Lagi pula, jika dia dan Jimin tetap berada disitu tak akan membantu sama sekali.

"Kau... Sudah makan, Unnie?" tanya Lisa pada sang kakak. Dia benar-benar bingung harus memulainya dengan kalimat seperti apa.

"Sudah."

Mendengar jawaban singkat Rosé, Lisa hanya mengangguk mengerti sebagai respon. Menatap ke sekeliling apartementnya dengan wajah tak nyaman. Merutuki dirinya sendiri karena merasa asing dengan kakaknya sendiri.

"Kau sudah makan, Unnie?" Rosé mengerutkan dahinya bingung kala Lisa bertanya lagi namun dengan pertanyaan yang sama dengan sebelumnya.

"Kau sudah bertanya tadi, Lisa-ya." Ujar Rosé memberitahu. Membuat Lisa mendadak salah tingkah. Dia lupa jika sudah menanyakan pertanyaan serupa. Dan hal itu pun semakin menyadarkan Rosé akan penyakit adiknya.

Kemudian, suasana kembali hening. Sebenarnya, Rosé sangat ingin langsung membawa adiknya itu pulang. Tapi pasti tak mudah untuk membujuk Lisa. Tak mungkin dia menyeret paksa adiknya itu.

Sampai ketika matanya tak sengaja menatap kedua tangan Lisa yang bergerak gelisah. Disana, terdapat selembar kertas yang sedang dimainkan oleh Lisa.

"Kertas apa itu, Lisa-ya?"

Lisa tergagu. Tak sadar masih menggenggam brosur yang dia temukan di jalan tadi.
"A-Ah, i-igeo. Tidak penting---"

Belum sempat Lisa menyelesaikan kalimatnya, Rosé terlebih dahulu merebut kertas itu. Melihat gelagat Lisa yang aneh, Rosé jadi curiga dengan isi kertas itu. Mulai sekarang, dia harus tau segala hal tentang adiknya.

"Kau... Berniat pergi kesini?" Rosé benar-benar terkejut bukan main dengan apa yang dilihatnya kini. Sebuah panti tempat dimana penderita Alzheimer ditampung. Membayangkan adiknya ada disana, cukup membuat Rosé menangis lagi sekarang.

"U-Unnie, kenapa kau menangis---"

"Kau ingin meninggalkanku, Lisa-ya? Ingin membuatku gila karena kehilanganmu?" tanya Rosé dengan suara bergetar.

Dia sungguh tak menyangka adiknya memiliki pikiran yang begitu jauh. Hendak meninggalkan keluarganya begitu saja disaat semua orang sudah merasa candu dengannya.

"Unnie, ini yang terbaik." Jawaban yang keluar dari mulut Lisa semakin menggetarkan hati Rosé.

"Kau menyakitiku, kau bilang itu yang terbaik?"

Suasana yang semula canggung, kini berubah menjadi tak terkendali dan penuh emosi. Tentu Rosé tak mengerti jalan pikiran adiknya. Kakak mana yang mau ditinggal oleh adiknya sendiri? Dan hal mana yang Lisa maksud dengan kata terbaik, jika tak ada yang senang dengan keputusan Lisa.

"Unnie kau tak tahu, semunya rumit dan---"

"Aku sudah tau semuanya." Potong Rosé cepat. Tatapannya semakin tajam menghunus ke arah Lisa.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now