Mémoire : 31. Down

15.7K 1.8K 533
                                    

Gadis berambut cokelat itu tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan saat ini selain menangis sembari menggenggam erat tangan Jennie yang terasa dingin. Ingin sekali mengenyahkan pikirannya yang buruk mengenai sang adik dari kepalanya.

"U-nhn-ie,"

Jisoo menatap pada wajah pucat Jennie yang kini setengahnya tertutup oleh masker oksigen dengan sorot sendu. Sejak sadar dari pingsannya, kondisi Jennie memang tak bisa dibilang baik. Adiknya itu sulit menggerakan tubuhnya, bahkan berbicara dan menelan pun begitu sukar.

"U-l-ji-ma," Bukannya berhenti, tangis Jisoo justru semakin menjadi. Keadaan Jennie ini, sungguh menakutkan untuk Jisoo.

Stadium akhir. Dimana harapan hidup Jennie semakin menipis. Bahkan kini tubuh adiknya seakan perlahan melemah. Padahal, tadi Jisoo bisa melihat senyum cerah terpatri di bibir sang adik.

"A-Ah-ku... A-kh-an... Sem-buh." Mendengar itu, Jisoo mengangguk cepat. Walau sedikit kemungkinan, bukankah Jisoo harus percaya dengan keajaiban? Tapi siapa yang tahu, arti dari kalimat Jennie itu bertolak belakang dari pengertian yang Jisoo dapat. Artian sembuh yang berbeda.

"Nde, Jennie-ya. Kau pasti sembuh. Kau pasti tak akan merasakan sakit lagi. Dan kita... Akan kembali tertawa bersama lagi, hm?"

Jisoo bangkit dari duduknya. Menunduk hendak memberikan kecupan hangat di dahi penuh keringat milik adiknya. Namun ketika melihat gelagat Jennie yang seperti sesak napas, tubuh Jisoo langsung menegak.

"Jennie-ya, wae geure?" Jisoo panik. Tatkala napas adiknya kini mengalun amat berat. Disusul dengan dada Jennie yang naik turun secara kasar. Bahkan, kini mulut dan kedua mata adiknya terbuka amat lebar.

"Jennie-ya, kau dengar Unnie?"

Tangan gemetar milik Jisoo menekan tombol emergency yang tersedia. Setelah itu, dia mengusap kasar rambut adiknya. Berusaha memperlahankan kesadaran milik Jennie.

"Hhh~ Aghh~"

Kedua mata Jisoo melebar karena tiba-tiba tubuh adiknya mengejang dengan hebat. Bahkan ranjang yang ditempati Jennie ikut bergetar. Jisoo panik, sampai kini dia merasa tak memiliki tulang di tubuhnya lagi karena terlalu lemas.

"Jisoo-ya, adikmu akan ku pindahkan ke ruang ICU."

Jisoo perlahan mundur. Membiarkan Dokter Song menyuntikkan sesuatu di lengan Jennie hingga kejang itu perlahan menghilang. Karena tak memiliki kekuatan lagi, Jisoo duduk tersungkur di atas lantai setelah Dokter Song dan beberapa perawat membawa pergi adiknya dari ruang rawat itu.

"Apakah ini arti senyumanmu kemarin, Jennie-ya?"

Jisoo masih ingat, bagaimana gambaran senyuman manis milik adiknya kemarin. Dan kini, perasaan gundah ketika melihat senyuman itu kemarin terjawab sudah. Jisoo tak tahu, apa dia masih memiliki harapan lagi untuk kesembuhan Jennie?

.........

Rasanya sudah sangat lama Lisa tinggal di rumah sakit itu untuk menerima hasil pemeriksaannya. Tapi dia cukup beruntung memiliki Wendy yang cukup berpengaruh di sana sehingga pemeriksaannya lebih didahulukan. Karena sebarusnya, Lisa menerima hasil pemeriksaannya besok.

"Jangan tegang, Nona Lisa." Dokter bername tag Kim Jinhwan itu tersenyum tipis ketika Lisa dan Wendy mulai duduk di hadapannya.

Jujur saja, Lisa merasa cukup heran dengan pemeriksaan yang dilakukannya beberapa jam lalu. Pria di hadapannya ini menanyakan perihal hal aneh, sebelum akhirnya melakukan pemeriksaan sesungguhnya.

"Jinhwan-ah, semuanya baik-baik saja kan?" tanya Wendy pada teman dekatnya itu.

Namun bukannya menjawab pertanyaan Wendy, Jinhwan justru kembali menatap Lisa. Tetap mempertahankan senyuman manisnya pada gadis berponi yang tampak mulai kehilangan raut tegangnya.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now